Skip to main content

Ketika Mereka Ingin Dipahami dan Dimaklumi Tapi Malah Abai Untuk Melakukan Hal Yang Sama

Go on, just tell me that im overreacting. Belakangan memang aku sangat sensitif mengenai segala hal, tapi mungkin ini karena aku sudah mengalami hal-hal yang gak enak sejak lama tapi gak pernah memberikan reaksi yang berarti sehingga belakangan ini---setelah semuanya terkumpul menjadi seperti gumpalan awan hitam---aku---seperti yang mungkin kalian pikir---berlebihan.

Sebenarnya aku gak perlu menjelaskan tentang bagaimana diriku dan cerita-cerita rumit yang membentuk diriku terutama yang terjadi lima tahun belakangan, karena itu gak akan membuat orang-orang mengerti diriku. Hanya aku yang mengerti diriku karena akulah satu-satunya yang merasakan hidup seperti ini---kehidupanku.

Melewati usia 19 tahun, setelah dibebani lebih banyak tanggungjawab dan mengalami kejadian-kejadian luar biasa, aku rasa aku banyak mengalami perubahan cara berpikir dan bertingkah, menjadi lebih dewasa walaupun masih tersisa keegoisan dan sifat kekanakan lainnya yang menjijikan untuk orang seusiaku. Satu hal yang benar-benar terasa adalah, aku menjadi lebih sensitif dan berhati-hati dalam berucap dan bertindak, tidak seperti dulu. Hal itu baik, apalagi ditambah sifatku yang memang pendiam dan lebih memilih untuk menjadi pendengar. Aku terlihat seperti orang yang benar-benar berubah. Kedengarannya aku berubah ke arah yang lebih baik, tapi sebenarnya ada buruknya juga. Menjadi orang yang berhati-hati dan sensitif membuatku kadang lelah. Setiap terlibat percakapan, aku harus menahan ucapanku sehingga gak menyakiti, kecuali jika perasaanku sendiri sedang buruk sehingga sulit untuk berhati-hati. Menjadi orang yang baru berubah kadang melelahkan, apalagi jika lingkungan benar-benar---aku gak tahu harus menggunakan kata apa---insensitive itu terlalu kasar, lagipula aku juga gak berharap mereka melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan, berhati-hati.

Orang-orang terlalu cepat memberikan penilaian dan penghakiman, gak semua orang seperti itu memang, tapi mungkin di lingkunganku banyak, kecuali mungkin yang agak mendingan adalah Papa. Entahlah, pernyataan dan pertanyaan orang-orang tentang gap year dan alasannya, tentang masa depan seperti karir dan pendidikan dan bahkan keluarga masa depan, tentang keluargaku dan adik-adikku, tentang belajar di kampus dan kelulusan, dan sebagainya semakin kesini semakin membuatku lelah. Bukan lelah karena pertanyaannya atau pernyataan mereka, itu wajar menurutku, tapi lelah karena cara menyampaikannya yang berkali-kali tapi gak pernah benar-benar memaknainya. I know it, i can hear and see how they said it. Awalnya sekali atau dua kali aku baik-baik aja menjelaskan ini-itu, tapi lama-lama aku bosan ditanya terus oleh orang yang itu-itu lagi seperti mereka hanya ingin mengetesku. Belum lagi di akhir, selalu dibarengi dengan pernyataan-pernyataan menghakimi. Bahkan saat mereka bercerita atau curhat soal masalah mereka pun, mereka masih sempat melontarkan pernyataan yang sok tahu tentang diriku. Entah aku dipuji berlebihan tapi ujung-ujungnya malah ironi dan malah menjatuhkan, atau aku yang dibanding-bandingkan dengan siapapun baik dengan yang kedengarannya lebih baik dariku atau lebih buruk dariku tapi kemudian selalu berakhir negatif bukannya suportif, atau aku yang disama-samakan dengan kondisi mereka yang kedengaran menyedihkan. Buat apa? Seems like they want to feel better about themself, but they choose such a way which kind of hurting me.

Aku juga sering lalai dan menyakiti orang, tapi aku sadar kalau mulut ini memang susah dikendalikan, jadi seringnya aku memilih diam, bahkan saat orang-orang disekitarku berharap untuk aku pahami, aku selalu berusaha untuk berbicara seadanya dan sehati-hati mungkin. Tapi dalam kondisi mereka yang sedang bahagia mereka sering lupa kalau ada hati milik orang-orang lain yang perlu dijaga, bahkan saat sedih pun aku merasa mereka gak menggunakan kondisi itu untuk berkaca. Mereka sibuk membangkitkan semangat mereka lagi dan membuat mereka lebih baik tapi dengan cara menyinggung orang lain dari kata-kata mereka dan dari cara mereka menyampaikan semuanya.

Betapa kata-kata bisa membuat kita semua sakit dan bahagia. Mungkin aku hanya bertelinga tipis, atau mungkin aku sudah terlalu lelah mengumpulkan gumpalan awan. Semoga kelak aku bisa jadi orang yang lebih baik lagi dalam bereaksi terhadap apapun. Dan semoga di kehidupanku nanti dan seterusnya aku selalu dikelilingi dengan orang-orang yang baik dan suportif.

Comments

  1. tapi ada baiknya tidak melakukan justifikasi thd diri sendiri kalau memang kita susah dimengerti orang. mungkin cara kita menyampaikannya saja yang harus disesuaikan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera