Skip to main content

Memang Salah Jika Punya Kelebihan Dan Kemudahan?


Lama sekali gak posting cerita (kehidupan pribadi) ke sini, terakhir tiga bulan hampir empat bulan yang lalu. How i miss this blog. Alhamdulillah aku sudah lulus, hanya tinggal menunggu perayaan wisuda akhir Agustus ini. Cerita soal perjuangan kuliah strata satu aku simpan dulu ya, inshaallah akan aku pos secepatnya.

Well, sekarang aku ingin bercerita soal hal lain. Hal yang mungkin bisa membuat orang lain berpikir bahwa aku overreacted, dan bahkan membuat aku sendiri berpikir demikian. Tapi belakangan aku sangat ingin menuliskan ini.

Lingkungan memang gak bisa kita kendalikan, kita hanya bisa mengendalikan diri dan menentukan bagaimana kita bereaksi atas apa yang terjadi di lingkungan yang memberi efek tertentu pada diri kita atau bahkan yang terjadi langsung pada kita. Aku rasa ini sering kita dengar dari nasehat-nasehat orang-orang di sekitar kita atau dari tulisan-tulisan nasehat yang kita baca di internet. Tapi biarkan aku bercerita tentang apa yang selama ini mengganjal di hati dan pikiranku.

Sebagai orang yang hampir lulus kuliah, aku sering sekali terlibat dalam percakapan tentang masa depan baik karir, pendidikan selanjutnya, jodoh, dan keluarga. Menyenangkan memang membicarakan masa depan, seolah aku bisa hidup selamanya dan merencanakan sambil membayangkan ini-itu adalah salah satu cara kita---setidaknya aku---untuk memotivasi diri untuk terus berjalan menyongsong *ceileh* masa depan. Bahkan di dua tahun pertama kuliah pun aku sering terlibat dalam percakapan seperti itu, betapa orang-orang senang sekaligus gugup menghadapi masa yang akan datang. Itu wajar, namanya juga sudah saatnya orang seumuran itu memikirkan masa depan dan strategi hidup.

Dalam beberapa obrolan tentang masa depan tersebut aku sering sekali mendengar keluhan dan kebingungan tentang pekerjaan apa yang bisa mereka tekuni kelak. Banyak yang bilang zaman sekarang selain kemampuan, hubungan dengan orang-orang juga penting bahkan beberapa bilang itu justru yang lebih penting daripada kemampuan. Well, aku gak tahu mana yang lebih penting sebenarnya. Aku hanya mau menjalani hidup, mengejar cita-cita dengan jalan yang normal dan membahagiakan.

Tapi ada beberapa orang di lingkunganku yang benar-benar membuatku gatal ingin membacakan tulisan ini di hadapan mereka. Mereka dalam berbagai kesempatan pernah bilang begini, “Ah, enak lo mah, nyokap lo pasti ada lah link ke sana.”, “Ah, enak kali lo mah, masa iya orang tua lo gak punya link kemana gitu.”, bahkan di hari aku dinyatakan resmi menggenggam gelar sarjana, masih ada yang bilang, “Tenang aja lo mah pasti dikasih kerjaan lah sama nyokap lo.” I don’t know if you are that desperate.

Btw, Mama adalah seorang PNS bukan guru, yang alhamdulillah adalah pegawai yang rajin dan jujur. Karakternya yang demikian alhamdulillah selalu beliau bawa sejak beliau kecil. Sedangkan Papa adalah seorang konsultan pembangunan jalan dan jembatan, yang inshaallah sangat jujur dan idealis. Tapi apa itu masalah? Aku sangat bersyukur aku lahir di tengah keluarga yang mampu, secara ekonomi menengah ke atas. Mulai dari kakek, orangtua, om, dan tante semua memiliki pekerjaan yang “bagus dan ideal” menurut pengertian kebanyakan orang Indonesia. Bisa dikira-kira lah pekerjaan mereka apa. Walaupun gak punya mobil *kalau itu definisi “mampu” yang kalian pikir*, tapi keluarga besarku hidup sejahtera dan berkecukupan. Dan alhamdulillah lagi, dengan segala kemudahan yang aku dapat sejak lahir, gak serta-merta membuatku santai dan bergantung pada mereka. Well, financially aku masih bergantung, karena memang saat ini aku belum punya pekerjaan. Tapi aku sangat sadar kalau aku tetap harus berusaha, karena biar bagaimanapun juga hidup memang selalu menuntut kita untuk berusaha. Seandainya aku bisa mengembalikan omongan mereka soal kemudahan yang bisa diberikan orang tuaku, well, mereka semua salah. Orangtuaku bukan pejabat yang tinggal ngomong langsung bisa memasukkan orang-orang yang mereka mau ke perusahaan atau ke instansi pemerintah seperti yang selama ini banyak kita dengar. Dan kebetulan lagi kedua orangtuaku selalu menanamkan pemikiran untuk jujur seberat apapun itu. C’mon, tiga orang anak mereka kuliah dan gak ada satupun yang bohong soal penghasilan orang tua demi UKT rendah dan gak ada satupun anak mereka yang ikut program beasiswa yang syaratnya pakai Surat Keterangan Tidak Mampu. Maaf emosi, tapi kalau itu bisa meredam pikiran negatif mereka, then i will say it.

Kemudian, ada kasus lain yang sebenarnya gak tertuju pada diriku sendiri, tapi lumayan bikin aku marah. Beberapa kali aku dengar orang-orang di lingkunganku yang bilang begini, “Eh, si X magang di situ, terus ditawarin lanjut kerja di situ. Hmm wajar sih, cantik.”, “Eh, beruntung banget si Y, udah mah ditawarin kerja di sini, terus ditawarin kerja di situ, sumpah gue denger langsung, orang mereka ngomong sendiri ke si Y di depan gue, di suruh kirim lamaran. Cantik sih, wajar.”, “Ah, gue yakin si Z kerja di situ juga karena ada yang masuk-masukin.” Dan kalimat-kalimat itu keluar dari mulut-mulut yang sama. Betapa lingkunganku sangat gak suportif ya, hahaha.

Ada beberapa pekerjaan yang memang menuntut pekerjanya untuk berpenampilan menarik karena alasan-alasan tertentu. Dan aku pikir alasan-alasan mereka masuk akal, seperti pekerjaan yang harus menghadapi orang banyak, pekerjaan yang harus mewakili perusahaan, dan sebagainya memang wajar harus berpenampilan menarik. So what? Kalau aku yang punya perusahaannya, aku juga akan memilih kandidat yang sempurna untuk merepresentasikan perusahaanku. Jadi apa masalahnya?  Untuk orang-orang yang mengeluarkan kalimat-kalimat tadi, i just wanna say, you are just jealous, merasa gak mampu, takut, dan kecil untuk berusaha bersaing dengan mereka. Aku bahkan pernah bilang ke mereka bahwa siapa tahu orang-orang yang mereka bilang diterima kerja di sana-sini karena cantik itu adalah orang-orang yang punya kemampuan juga, jangan bilang cuma karena cantik, jangan remehkan mereka.

At the end, semua orang ingin dipuji, dan dihargai atas hasil kerja keras mereka, bukan apa yang sudah mereka miliki sejak lahir. Karena biar bagaimanapun semua orang pasti akan melakukan pembuktian dengan menjalankan suatu usaha, usaha yang ketika berhasil---sekecil apapun keberhasilan itu---itu lebih memuaskan daripada disindir karena punya kelebihan bawaan dari lahir. Siapa peduli aku anak PNS, anak pejabat pemerintah sekalipun, atau anak presiden sekalipun? Siapa peduli si dia cantik, tampan, dan punya link dimana-mana? Pada akhirnya mereka juga akan berjuang. Dan gak semua yang punya segala kemudahan, kenalan orang-orang penting dimana-mana, dan kesempurnaan baik fisik, kecerdasan, sampai finansial akan bersantai begitu aja. Lagipula kenapa kita gak berprasangka baik aja? Itu lebih menentramkan jiwa dan pikiran, membesarkan jiwa dan pikiran, memotivasi diri dan orang lain, lebih baik dari segala sisi dibandingkan berpikiran negatif. Orang cantik aja dicari-cari salahnya dengan berpikir negatif tentang mereka, apalagi orang yang terlihat lemah. Mau kalian apakan? Mau kalian injak-injak?

Kalaupun pada akhirnya kita semua memanfaatkan kelebihan-kelebihan dan kemudahan-kemudahan yang kita punya tersebut, so what? Jangan terus berprasangka buruk dan merasa kecil. Kalau memang harus berusaha ya berusahalah, jangan menjelek-jelekan dan menganggap orang lain hanya bisa bergantung dari apa yang mereka miliki, jangan menyerang orang dengan pikiran-pikiran negatif itu, karena itu gak berguna untuk diri sendiri dan semua orang. We can always choose to be nice, and positive.

See you on my next post!

Comments

  1. ternyata ganti lingkaran pertemanan itu beneran perlu ya.
    kurang-kurangin, ngumpul sama orang yg nyinyir gitu. ngefek buruk malah yang ada. klo pun beneran dibilang,

    'nnti mah kerja gampang, kan mama kmu bnyak link'

    di aminin aja.
    yang ngomong kayak gitu sih, biasanya muter'' di tempat doang pencapaiannya.

    semangat bosque~

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera