Skip to main content

Review: Mantan Manten (Film)


Mantan Manten, judul yang cukup provokatif. Ketika melihat posternya diposting di salah satu akun Twitter pecinta film, aku langsung bertanya-tanya, ini kisah seseorang yang mantannya yang sudah jadi pengantin? Atau kisah seseorang yang jadi mantan pengantin karena pernikahannya gagal? Awalnya pertanyaanku hanya sampai di situ saja, tapi lama-lama ada banyak tweet tentang promosi film Mantan Manten yang sangat lincah dan cerdas, seperti poster dengan kalimat “Mantan: Mau telepon malu, gak telepon rindu”“Baru mau move on, eh ditelepon” dan sejenisnya yang membuat aku bertanya lagi, ini film komedi romantis atau apa? Apalagi didukung dengan poster dominan warna merah muda dengan karakter-karakter utama yang saling pandang sambil tersenyum bahagia di sana. Kemudian presepsi awal soal genre film ini cukup terbantahkan setelah aku menonton trailer-nya, ya, should’ve known, kata “mantan” dan kata “manten” itu gak akan pernah asik kalau dijadikan satu, sama seperti trailer filmnya, yang sedikit banyak cukup menggambarkan kepedihan. Tapi karena masih ragu sekaligus penasaran dengan isi film ini, akhirnya kuputuskan untuk memasukkan film ini ke daftar tontonan bulan ini, bersama dengan film-film keren lainnya yang keluar bulan ini (sumpah ya, ada apa dengan bulan April, kenapa film-film oke keluar semua di bulan ini?)

Hari ini, 4 April 2019 alhamdulillah aku berkesempatan untuk menonton film Mantan Manten di hari pertama pemutaran serempak. Bioskop sepi, padahal aku mengambil jadwal jam 16:45 saat orang-orang pulang kerja, positive thinking, mungkin belum banyak yang tahu kalau film produksi Visinema ini sudah mulai diputar hari ini.

Mantan Manten sangat jauh dari presepsi awal dan ekspektasiku, film ini jauh lebih berarti daripada sekedar kisah cinta menggemaskan seperti yang digambarkan di judulnya dan di promosinya.

Baiklah, aku mulai saja.

Poster film Mantan Manten (sumber)

Judul: Mantan Manten
Genre: Drama
Sutradara: Farishad Latjuba
Produksi: Visinema Pictures
Tanggal Rilis: 4 April 2019

Alurnya maju. Dimulai dari pengenalan karakter yang sangat gamblang, Nina (Atiqah Hasiholan) seorang management consultant sukses dan populer berpacaran dengan Surya (Arifin Putra) rekan kerjanya yang kemudian melamarnya. Kehidupan mereka terlihat sangat sempurna, tapi gak sampai lima menit, scene sudah mulai menggambarkan masalah, kemudian konflik memuncak di menit-menit berikutnya. Alurnya sangat cepat, which is good, karena aku suka alur cepat dan padat yang gak membosankan.

Kemudian penokohannya, chemistry Atiqah dan Arifin oke banget dan gak kaku. Suka banget, aku harap mereka dipasangkan lagi di film lain kapan-kapan. Hampir semuanya cocok memerankan peran mereka dan sreg di hatiku kecuali yang memerankan karakter Salma (Oxcel). Akting Oxcel sangat bagus, tapi menurutku Oxcel terlihat sangat muda dan imut, jauh lebih muda untuk... ah (gak mau spoiler) dan aku pikir akan lebih mending kalau karakter Salma diperankan oleh perempuan yang auranya dewasa banget agar bisa mengimbangi karakter-karakter utama lainnya, atau mungkin karakter Salma sendiri yang agak dibikin lebih elegan lagi biar semakin oke. Oh ya, penampilan Ria Irawan walau sebentar tapi sangat oke dan total, i love her since Janji Joni.

Selanjutnya, latar film ini di dua tempat, Jakarta dan Tawangmangu, Solo. Aku suka sekali traditional vibe Tawangmangu, Solo dan pernikahan-pernikahan tradisionalnya. Good job untuk siapapun yang menciptakan cerita dengan mengambil tempat di Tawangmangu dan siapapun yang membangun scene-scene pernikahan yang syarat muatan lokal dan dapet banget.

Dialognya sangat padat dan menarik. Bahasa Indonesia, Inggris, dan Jawa bercampur dan digunakan oleh masing-masing peran sesuai situasi dan kondisi. Semua tokoh menyampaikan dialog dengan luwes dan hidup. Aku sendiri mendapatkan banyak hal dari film ini terutama soal budaya paes manten dan dukun manten ini. Sebelumnya aku memang pernah dengar kalau perias pengantin itu gak bisa orang sembarangan, selain tentu saja harus bisa merias, perias pengantin yang bagus--- terutama yang tradisional (dukun manten)---juga biasanya puasa dan rajin berdoa atau melakukan ritual-ritual tertentu agar para pengantin yang mereka rias sukses di acaranya, terlihat bagus, cantik dan tampan (bikin pangling dalam arti yang baik), dan di film ini semua yang pernah kudengar soal dukun manten itu benar dan ternyata lebih rumit lagi. Semua dialog dan scene tentang budaya paes manten dan dukun manten ini berhasil menggambarkan budaya manten Jawa, aku gak keberatan kalau filmnya ditambah beberapa menit untuk memunculkan dialog-dialog tentang budaya tersebut agar aku dan penonton lainnya tahu lebih detail soal dukun manten ini.

Terakhir, official soundtrack Mantan Manten oleh Sal Priadi yang berjudul Ikat Aku di Tulang Belikatmu bagus banget baik musik dan liriknya, juga suara penyanyinya. Aku menulis ini sambil mendengar lagu itu dari Youtube agar aku lebih menjiwai menulis review ini.

Overall, aku suka sekali dengan film ini. Gak seperti posternya, promosinya, bahkan trailer-nya, film ini punya makna yang dalam. Ini bukan film yang menggemaskan dan menyenangkan, bukan juga film yang menyedihkan dan bikin galau berkepanjangan. Film ini tentang kekuatan keikhlasan dan bagaimana masalah-masalah hidup bisa mendewasakan seseorang dengan begitu indahnya.

4,5 dari 5 bintang untuk Mantan Manten.

Aku sangat merekomendasikan film ini. Ayo nonton film buatan Indonesia!

Comments

  1. Betul pendapat kata kak Anissa kalau judul filmnya provokatif dan .. bikin orang nebak-nebak 😁

    Kok sepi penonton ya ?.
    Apa mulai pada kendor minat penonton lokal nonton film produksi negeri sendiri ...🤔

    ReplyDelete
    Replies
    1. Entahlah, mungkin mereka nabung buat nonton film2 keren lainnya yang akan tayang bulan ini. Tapi beneran gak ketebak banget filmnya bakal jadi kayak gitu, you should watch it sooner.

      Delete
  2. Sebetulnya belum tertarik nonton film seperti ini, tapi melihat judul filmnya yang nyeleneh (menurutku) membuat ku untuk tertarik menontonnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. coba aja, gak ada salahnya kan? kalau jelek ya gakpapa buat pengalaman, kalau bagus jadi kayak dapet jackpot.

      Delete
  3. Saya nggak pernah liat trailernya. Nggak pernah baca sinopsisnya. Tapi, pengen banget nonton ini. Gara-gara banyak banget review yang seliweran di Twitter, yang katanya film ini berhasil bikin hati berantakan. Duh, saya jadi makin pengen nonton.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya, tergantung dilihat dari sisi mana sih, kalau aku emang agak berantakan, tapi sisanya malah merasa terinspirasi. karena menurutku film ini sepertinya lebih menonjolkan ketegaran dibanding kegalauan.

      Delete
  4. Udah nonton trailernya dan tertarik banget buat nonton, sayangnya di bioskop kotaku g tayang dong.. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, sepertinya emang gak tayang di semua bioskop. Di sini aja gantian, di Cilegon cuma 4 hari itupun cuma di satu bioskop, terus besoknya baru diputer di Serang cuma ada 2 hari kalau gak salah. Sebentar banget :')

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Review: Himouto! Umaru-chan (Anime TV Series)

Cover Serial Televisi Anime Himouto! Umaru-chan Judul                 : Himouto! Umaru-chan Penulis              : Takashi Aoshima Sutradara         : Masahiko Ohta Tahun Tayang : 2015 Himouto! Umaru-chan adalah serial manga yang  ditulis oleh Sankaku Head yang kemudian diadaptasi ke dalam serial televisi pada tahun 2015 lalu, tepatnya anime ini tayang pada tanggal 9 Juli 2015 hingga 24 September 2015. Kemarin saya baru saja selesai menonton serial anime ini. Hanya ada 12 episodes, sehingga tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengetahui akhir cerita serial anime bergenre komedi ini. Umaru adalah seorang gadis SMA yang sangat pintar, berbakat, baik hati, sangat cantik, serta menarik, sangat sempurna sehingga semua orang menyukainya. Namun sifat-sifat tersebut berubah drastis seketika Umaru masuk ke dalam apartemen kecil kakaknya, Taihei. Umaru berubah menjadi seorang pemalas. Ia hanya mau bermain game, makan, dan tidur. Oke, langsung lanjut ke epis

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera