Skip to main content

Lambat


Lambat selalu punya konotasi negatif, setidaknya belakangan ini, saat semuanya dituntut untuk serba cepat---lebih cepat. Apalagi budaya lingkunganku yang ternyata aku sadari telah membentuk trek hidup dengan rapih---seperti setelah belajar dari TK hingga SMA tanpa pernah gak naik kelas, harus masuk kuliah dan lulus tepat setelah delapan semester, kemudian mendapat pekerjaan tetap, menetap di suatu tempat, dan menikah, dan punya anak, kemudian mengulang fase-fase itu lagi---membuat kita gak hanya harus cepat, tetapi juga lari di trek yang benar (menurut budaya lingkungan ini). Pernah gak sih dengar orang-orang tua bilang, “Ayo belajar ABC biar cepat masuk SD”, atau sekedar “Ayo makan yang banyak, biar cepat gede”? I don’t know it is just me or everyone else also thinking about this too, but this kind of thought somehow makes us want to do everything faster, want to get everything immediately, grow faster, and so on. And it makes everything that is not running on a right pace and right track is wrong.

Maybe it is just me trying to soothe myself from my own thoughts that im slow and not running on the right track. Tapi gak apa-apa kan, toh tulisan adalah satu-satunya cara paling efektif untukku berbagi. Aku hanya mau cerita soal aku yang lambat.

Aku bermain di TK di dekat rumahku selama 2 tahun, kemudian dilanjut belajar di SD di saat umurku tepat 6 tahun 6 bulan. Aku gak bisa bilang umur segitu terlalu lambat, pas, atau cepat untuk masuk SD, aku juga belum tahu pasti umur anak yang pas untuk masuk sekolah secara psikologis atau kognitifnya dan apapun itu, saat itu jelas aku merasa pas, karena usiaku adalah usia rata-rata teman-teman SDku saat itu, karena ada yang lebih tua setengah tahun (bahkan lebih), ada juga yang lebih muda setengah tahun (bahkan lebih). Terlebih, kata Papa, beliau gak mau menyekolahkanku di SD setahun sebelumnya karena umurku masih terlalu muda dan sekolah di umur yang sangat muda itu gak pas untuk mentalku, karena umur 5 tahun seharusnya masih bermain di TK. Dan aku menerima itu, karena apa sih yang dipikirkan anak SD saat itu.

Saat aku masuk SMP dan SMA ternyata rata-rata usia teman-temanku lebih muda dariku, bahkan ada yang lebih muda satu tahun, walaupun ada juga beberapa yang seusiaku bahkan ada yang lebih tua. Tapi di sini aku jadi mulai berpikir sebenarnya usia berapa sih waktu yang pas untuk masuk sekolah? Apakah aku terlambat? Dan aku mulai berpikir, seandainya aku hanya bermain di TK selama satu tahun, mungkin aku akan lebih cepat lulus, dan sebagainya. Belum lagi, ada banyak sekali berita-berita soal sarjana di usia 19 tahun, mendapat gelar doktoral di usia 21 tahun, dan segala berita serupa yang bernada positif membuatku semakin berpikir bahwa semakin cepat orang untuk dewasa dan mencapai ini-itu, maka semakin baik.

Lanjut ketika aku kuliah di Bandung, saat itu sudah memasuki waktu semester 2 dan aku berpikir untuk pindah karena satu dan lain hal yang sulit dijelaskan dan gak perlu dijelaskan karena orang yang gak merasakan gak akan pernah ngerti dan aku sudah sering menerima judgement soal menghabiskan uang orang tua, sayang ini-itu, dan sebagainya. Long story short, setelah menimbang-nimbang dan melalui berbagai sidang keluarga, aku beneran pindah kuliah di Serang dan inshaallah di jurusan yang tepat. Tapi yang namanya pindah jurusan, pindah kampus, itu pasti ada gap year. Dan di tahun pertamaku, jujur, aku merasa sangat berat karena malas harus mengulang beberapa mata kuliah wajib yang sama, kemudian mengetahui fakta bahwa teman-teman belajarku adalah orang-orang yang rata-rata setahun lebih muda dariku, bahkan lebih, itu membuat aku merasa aku beda sendiri, dan mereka memandangku lebih dewasa yang kadang membuatku senang jadi lebih dihargai dan entah kenapa jadi berbeda itu asik, tapi kadang itu juga membuatku merasa beban karena aku ya sama aja seperti yang lain, masih dalam masa peralihan remaja menjadi dewasa, dan aku gak seharusnya terus-terusan diperlakukan seperti yang lebih dewasa. Selain itu, gap year juga membuatku sedikit tertekan untuk harus lulus tepat waktu (karena kuliahku sistem paket, jadi gak berguna berharap bisa lulus hanya 6 atau 7 semester) dan mengejar teman-teman seangkatanku yang rata-rata akan lulus setahun lebih cepat dariku, apalagi Mama juga pernah bilang bahwa dengan pindah kuliah maka aku harus lulus tepat waktu karena sudah blablabla dan itu jadi beban tanggung jawab yang cukup besar karena at the end of the day, ada lebih banyak hal yang harus dibayar dari memilih jurusan yang menurutku cocok, nyaman, dan benar. Dan di tahun pertama kuliahku di tempat baru, selain aku harus mencocokkan diri dan berjuang, aku juga selalu berpikir “Seandainya...”, padahal berpikir demikian itu hanya membuat semuanya semakin berat. Tapi walaupun sempat merasa berat, pada akhirnya alhamdulillah di tahun-tahun berikutnya semua berjalan lancar dan aku bisa lulus tepat 8 semester seperti permintaan Mama. Walaupun aku tahu aku tetap lambat.

Im slow and im still figuring myself out and what to do in my life. Aku gak hanya merasa sekolahku saja yang lambat, tapi perkembangan diriku juga lambat. Lama dewasa dan aku sulit mendorong diri untuk cepat dewasa. Kadang aku berpikir bahwa ini gak benar, dan aku gak mau seperti ini. Aku mau cepat seperti yang lain, aku mau punya tujuan yang clear dan rencana B, C, D, dan seterusnya yang rapih dan masih di trek yang benar. Tapi lagi, entah karena aku memang lambat atau aku hanya seorang pemikir, aku masih menjalani hidup sambil meraba-raba maunya aku dengan pelan dan lambat.

Biar ada fotonya aja

Again, maybe it is just me trying to soothe myself from my own thoughts. Aku dulu pernah menonton video Youtuber Gita Savitri Devi tentang gap year juga, dan kurang lebih apa yang dia bagikan, mirip dengan yang aku rasakan. Mungkin aku lambat dalam hal ini-itu dan bahkan saat aku sadar aku lambat pun aku masih saja meraba-raba hidupku akan kubawa kemana. Tapi mungkin menjadi lambat gak selalu negatif---setidaknya untukku, mungkin kamu juga. Aku yang lambat jadi bisa lebih menikmati masa sekolahku. Aku yang lambat jadi bisa belajar untuk menerima dan gak jadi pribadi yang judgemental karena pengalaman dinilai ini-itu gak selalu enak dan itu membuatku lebih kritis dalam menilai apapun dan menghadapi apapun termasuk menilai dan menghadapi kehidupanku sendiri. Memang gak sempurna karena aku orang yang mudah menilai ini-itu, tapi yang aku rasakan dari pengalaman di berbagai events dalam hidupku yang kecepatannya gak sesuai dengan yang lain, dan treknya juga berbeda dari yang lain aku jadi merasa bisa berpikir lebih dalam dan terbuka untuk hal-hal baru dan aneh-aneh dan mungkin ada banyak keuntungan lain yang gak aku sadari.

Jadi mungkin untuk diriku dan siapapun di luar sana yang merasa lambat, kita gak salah. Kita juga gak salah untuk memilih berlari di jalur yang gak sama dengan yang lain. Karena pada akhirnya kita berlomba dengan diri sendiri, di jalur yang kita pilih sendiri, dengan target yang kita tetapkan sendiri untuk kita kejar dengan kecepatan yang kita sesuaikan dengan target-target tadi. Menang atau kalahnya kita itu dilihat dari tercapainya target atau rencana A, B, C, D yang kita tetapkan untuk diri kita sendiri ditambah kemampuan kita menghadapi faktor-faktor lain yang menentukan tercapainya target seperti kecepatan kita yang naik turun, hambatan-hambatan dalam mencapai target, dan sebagainya, karena jalan hidup kita gak mungkin benar-benar lurus. Mungkin akan ada peer pressure, dan tekanan lainnya seiring dengan lambatnya langkah kita, tapi satu yang pasti, kita memang lambat tapi kita gak terlambat selama kita konsisten berjuang dan gak berhenti bergerak. We’re right because we’re running on our own pace and our own track.

See you on my next post!

Comments

  1. Lambat dan berhati-hati memutuskan 11-12 mba hehe

    ReplyDelete
  2. Yah, mungkin "lambat" dalam perjalanan hidup mba dan saya tidak jauh berbeda, dalam arti ada beberapa kesamaan walaupun tidak semua. Tetapi saya selalu berusaha untuk dua hal: pertama, menikmati setiap proses atau fase dalam hidup saya, kedua, saya merasa tak harus membuktikan apa-apa pada siapa-siapa, saya hanya harus menaklukan diri saya sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benerrr :') jujur, selama 4 tahun kuliah ini aku alhamdulillah bisa menikmati setiap proses dan bener2 fokus ke diri sendiri, dan itu berakhir dengan baik walaupun ada saatnya sih aku merasa lambat, apalagi ketika lihat temen2 yang lain udah selesai ini-itu. Emang terasa kalau kita fokus dan saat lihat ke belakang udah sejauh mana, kita jadi inget kalau fokus itu yang paling penting, mau cepat atau lambat langkah kita.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Review: Himouto! Umaru-chan (Anime TV Series)

Cover Serial Televisi Anime Himouto! Umaru-chan Judul                 : Himouto! Umaru-chan Penulis              : Takashi Aoshima Sutradara         : Masahiko Ohta Tahun Tayang : 2015 Himouto! Umaru-chan adalah serial manga yang  ditulis oleh Sankaku Head yang kemudian diadaptasi ke dalam serial televisi pada tahun 2015 lalu, tepatnya anime ini tayang pada tanggal 9 Juli 2015 hingga 24 September 2015. Kemarin saya baru saja selesai menonton serial anime ini. Hanya ada 12 episodes, sehingga tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengetahui akhir cerita serial anime bergenre komedi ini. Umaru adalah seorang gadis SMA yang sangat pintar, berbakat, baik hati, sangat cantik, serta menarik, sangat sempurna sehingga semua orang menyukainya. Namun sifat-sifat tersebut berubah drastis seketika Umaru masuk ke dalam apartemen kecil kakaknya, Taihei. Umaru berubah menjadi seorang pemalas. Ia hanya mau bermain game, makan, dan tidur. Oke, langsung lanjut ke epis

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera