Skip to main content

Lingkaran Bullying dan Aku yang Mencoba Bertahan dan Berusaha Menjadi Lebih Baik


Bullying memang gak lepas dari kehidupan sosial kita. Dari kecil kita sudah terpapar oleh bullying, ringan atau berat, menjadi korban atau pelaku. Aku pernah jadi korban, dan pernah jadi pelaku, walau seringnya jadi korban. Sedih ya? Iya.

Bullying juga ada beberapa macam dari yang pernah kubaca dan pernah kupresentasikan beberapa tahun lalu di sekolah, ada bullying secara fisik dan ada secara verbal. Kemudian belakangan aku dengar ada bullying sosial dan bullying siber (cyberbullying) juga. Dan masing-masing jenis bullying punya turunan tersendiri yang banyak dan bermacam-macam juga. Tapi untuk detailnya mungkin bisa dipelajari di sumber-sumber yang lebih terpercaya. Poinku di sini adalah bahwa kita gak akan bisa benar-benar mengendalikan lingkungan kita agar bersih dari bullying yang sepertinya sudah membudaya, tapi kita bisa mengontrol diri supaya gak jadi pelaku, dan mengontrol diri supaya gak berlarut-larut jadi korban bullying. Aku gak akan memaparkan praktiknya seperti apa, karena aku juga kurang pengetahuan soal itu dan pasti akan sulit sekali dijelaskan oleh orang yang bukan ahli sepertiku. Tapi at least dengan mengingat dua kalimat ini, aku, dan mungkin kalian juga bisa mengontrol diri untuk gak jadi pelaku dan punya keberanian untuk bisa tetap positive thinking dan percaya diri untuk bebas dari bullying (terutama bullying verbal dan cyber yang paling sering terjadi padaku dan mungkin pada kalian juga) karena pelaku akan kelelahan jika korban tetap positif, percaya diri, dan mencintai dirinya sendiri.

“Jangan mengejek orang, apalagi mengejek hal yang sulit atau bahkan gak bisa dia ubah dari dirinya, misal fisiknya yang cacat sejak lahir, karena itu bisa bikin orang jadi membenci dirinya sendiri bahkan menyesal jadi seperti itu. Biarin aja dia ngejek, kamu jangan seperti itu karena kamu bisa lebih baik.” – Papaku, dulu sekali saat mendapati aku mengejek fisik temanku karena aku marah fisikku yang gak sempurna ini diejek.

Jujur, kalimat itu bener-bener menempel di kepalaku bahkan hingga sekarang. Aku memang gak selalu ingat, dan tetap jadi pelaku sekaligus korban yang sakit hati. Tapi ketika aku ingat kalimat itu---apalagi sekarang, saat aku sudah lebih bijak daripada dulu---aku jadi sadar kalau aku gak bisa membalas bukan karena aku takut atau malas berurusan dengan pelaku, tapi aku harus punya rasa empati dengan kekurangan mereka juga, aku diam biar mereka lelah dan sadar sendiri atau kadang kalau sudah jengah, aku bilang jujur dan melawan (kadang aku melawan dengan cara yang masih belum baik dengan marah atau bilang di depan umum sampai pelaku malu, tapi kadang juga aku sudah bisa bilang jujur dan baik-baik secara personal ke pelaku). Begitu juga ketika mulutku gatal ingin mengejek orang---biasanya sih name calling, ketika aku ingat kalimat dari Papa, juga kejadian-kejadian gak enak yang kualami sebelumnya, aku jadi berkaca bahwa aku juga gak mau diejek, atau dapat hinaan balik dalam bentuk apapun, entah name calling juga, atau sifat, atau status, atau bahkan fisik (yang notabene bawaan lahir dan sulit atau bahkan gak bisa diubah), karena aku juga pernah membenci diri sendiri atas ke-gak-sempurna-an yang menempel di fisik dan sifat diriku, jadi kenapa aku harus mengejek atau menghina mereka baik di depan atau di belakang mereka? Kenapa aku harus basa-basi bullshit soal fisik atau status apapun ketika bertemu teman lama? Atau kenapa aku gak mempertahankan ke-kalem-an dan ke-kikuk-an diriku ditengah acara sosialiasi dan gak ngikutin arus basa-basi bullshit mereka? (haha yang terakhir itu the perks of being a socially-awkward person yang gak bisa basa-basi karena takut salah ngomong).

Akhirnya entah mulai kapan aku selalu berusaha mengontrol ucapanku walaupun memang sulit apalagi ketika aku berada di lingkungan yang saling sindir dan bully untuk menjadi superior atau sekedar membela diri. Aku mengontrol diri supaya aku gak jadi pelaku. Aku juga mengontrol diri untuk tetap terlihat tegar tanpa membalas pelaku dengan hal yang negatif juga supaya pelaku lelah karena aku yang seharusnya jadi korban gak kunjung terlihat sakit hati, supaya pelaku sadar dengan sendirinya. Kalau sudah bisa sampai di level “bisa mengingatkan pelaku langsung secara personal” akan lebih baik lagi dan aku belajar untuk bisa sampai sana demi membela diriku dan demi lingkungan sosialku yang lebih baik. Memang sulit sekali keluar dari lingkaran setan bullying, tapi kita pasti bisa.

Mungkin kita gak tahan untuk gak membalas pelaku dengan kejahatan serupa, mungkin kita sering gatal untuk menindas orang lain demi status yang lebih superior atau sekedar membela diri, mungkin kita sering merasa sedih dan gak tahan ingin langsung menangis ketika ditindas, mungkin kita bisa terlihat kuat di depan tapi menangis di belakang, mungkin kita bisa cuek walaupun ada saatnya kita merasa lelah dari terpaan bullying yang terus menerus, mungkin kita pernah merasa gak percaya diri karena serangan verbal yang terus menerus yang seolah meyakinkan kita bahwa kita punya kekurangan ini-itu yang sulit atau bahkan gak bisa diubah, atau bahkan mungkin kita pernah membenci diri sendiri yang gak sempurna... tapi selalu ingat kita bisa jadi lebih baik.

Jadi lembut untuk diri sendiri dan lingkungan pasti lebih mendamaikan dan menenangkan.

Selamat Hari Kartini! J

See you on my next post!

Comments

  1. Hal seperti ini, name calling, pernah terjadi juga dimasaku SMP. Dimana teman-teman saling memanggil yang lain dengan nama orangtuanya ( baik nama Bapak/Ibu ) dengan tanpa sapaan Pak/Bu. Langsung melontarkan nama orangtua. Aku cuma bisa diam dan segan untuk sekedar "heh, gak boleh gitu". Ya, meskipun aku dilingkungan seperti itu dan aku paham seperti itu memang tidak pantas. Tapi aku cuma bisa diam serta tidak ikut menjadi tersangka, meskipun aku sempat beberapa kali menjadi korban. Karena disaat itu aku berpikir ya memeang nggak 'ilok' aku manggil nama orangtua 'njangkar' seperti itu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Review: Himouto! Umaru-chan (Anime TV Series)

Cover Serial Televisi Anime Himouto! Umaru-chan Judul                 : Himouto! Umaru-chan Penulis              : Takashi Aoshima Sutradara         : Masahiko Ohta Tahun Tayang : 2015 Himouto! Umaru-chan adalah serial manga yang  ditulis oleh Sankaku Head yang kemudian diadaptasi ke dalam serial televisi pada tahun 2015 lalu, tepatnya anime ini tayang pada tanggal 9 Juli 2015 hingga 24 September 2015. Kemarin saya baru saja selesai menonton serial anime ini. Hanya ada 12 episodes, sehingga tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengetahui akhir cerita serial anime bergenre komedi ini. Umaru adalah seorang gadis SMA yang sangat pintar, berbakat, baik hati, sangat cantik, serta menarik, sangat sempurna sehingga semua orang menyukainya. Namun sifat-sifat tersebut berubah drastis seketika Umaru masuk ke dalam apartemen kecil kakaknya, Taihei. Umaru berubah menjadi seorang pemalas. Ia hanya mau bermain game, makan, dan tidur. Oke, langsung lanjut ke epis

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera