Skip to main content

Review: Antologi Rasa (Film)

Antologi Rasa sebenarnya adalah novel favoritku dari salah satu penulis kesayanganku, Ika Natassa. Seperti rata-rata novel Ika Natassa, Antologi Rasa menceritakan kisah asmara banker muda yang senang, sedih, dan banyak rasa lainnya, tapi lebihnya Antologi Rasa dibandingkan novel-novel lainnya yang membuat aku suka adalah novel ini memuat emosi yang lebih luas lagi, aku bisa tertawa bahagia, menangis sedih hingga terharu, kesal, jengkel, gemas, dan gak mau pisah ketika mencapai penghujung cerita. Gak heran kalau di akun Instagram dan Twitternya Ika Natassa pernah bilang bahwa novel ini adalah puncak dari karya-karyanya.

Aku membeli Antologi Rasa tahun 2013 atau 2012 dan baru dibaca setahun kemudian. Karena rasa senangnya setelah selesai membaca novel itu gak hilang-hilang, akhirnya aku pernah iseng cari tahu di Google apakah novel ini akan dijadikan film (ini serius). Dan benar saja, banyak banget hasil yang bersliweran, tentang si A harus jadi Keara, si B gosipnya sudah pasti jadi Harris, dan calon pemeran Ruly masih dicari. Aku terkejut sekaligus senang soal hasil pencarian random di Google waktu itu, terlepas dari siapapun yang akan memerankan tiga tokoh utama kesayangan pembaca Antologi Rasa.

Dan ya, akhirnya gosip-gosip tersebut bukan hanya sekedar gosip, tapi menjadi nyata, walaupun gak ada satupun tebakan netizen soal para pemain yang benar-benar benar. Aku langsung baca ulang novel Antologi Rasa supaya aku ingat cerita favoritku dari Ika Natassa menjelang hari pertama pemutarannya, hari ini, 14 Februari 2019.

Sumber

Judul: Antologi Rasa
Genre: Drama
Sutradara: Rizal Mantovani
Produser: Sunil Soraya
Produksi: Soraya Intercine Films
Tanggal Rilis: 14 Februari 2019 (Sumber: Berbagai Posts Instagram @IkaNatassa dan @sorayaintercinefilms)

Film ini berkisah tentang empat bankers bersahabat yang terjebak perasaan antara cinta dan persahabatan. Harris (Herjunot Ali) cinta mati dengan Keara (Carissa Perusset) yang ternyata hanya menganggapnya sahabat sejati yang lucu, seru, dan selalu ada untuknya. Keara perempuan dengan segala perasaan yang dipendamnya untuk Ruly (Refal Hady) yang ternyata mencintai Denise (Atikah Suhaime) sahabat mereka yang lain yang sudah menikah dengan lelaki lain.

Perasaan antara persahabatan dan cinta ini mencapai puncaknya ketika Keara dan Harris pergi ke Singapur untuk menonton F1. Ada banyak kejadian di sana yang menjadi puncak masalah perasaan yang selama ini dipendam oleh tokoh-tokoh film ini. Mulai dari sebuah telepon yang datang dari Ruly, kejadian di malam terakhir di Singapura, yang semuanya memegang peran atas keputusan seorang Keara dalam bersikap dengan Harris dan Ruly, yang ternyata memberi efek tertentu untuk Harris dan Ruly. Disusul dengan serangkaian momen-momen di rumah sakit dan di Bali (keduanya ada di trailer), cerita pun terbentuk dengan berbagai masalah dan penyelesaian hingga membentuk akhir yang cukup bagus menurutku.

Alurnya maju mundur. Hmm, gak terlalu maju mundur sih, tapi ada kalau gak salah dua kilas balik kejadian yang diceritakan Keara dan Harris, soal Ruly yang solat di apartemen Keara dan soal Keara yang minta ditemani mencari pembalut (pembaca pasti tahu). Jujur, yang bagian kilas balik Harris yang mengingat Keara pernah meminta diantar dibelikan pembalut itu aku agak bingung sebentar tapi setelah konsentrasi dengar narasi Harris, aku langsung tahu, kalau itu kilas balik hehe emang kadang aku suka ngelamun sebentar kalau nonton. Dan alur itu oke, dan gak membingungkan kok untuk penonton baru sekalipun.

Kedua, penokohannya. Menurutku pribadi setelah benar-benar menonton filmnya, Junot, Carissa, dan Refal sudah pas untuk memerankan masing-masing tokoh walaupun dulunya aku sempat merasa heran dan takut Junot gak bisa menghidupkan imajinasi membaca sepertiku. Akting ketiganya aku yakin pasti sudah sangat maksimal dan aku menghargai itu. Satu yang disayangkan tokoh-tokoh pendukung seperti Denise dan Dinda (Angel Pieters) yang sebenarnya bisa lebih membantu menerangkan karakter tokoh-tokoh utam---terutama Keara---malah kurang ditampilkan. Mungkin karena durasi yang sedikit, tapi seandainya saja ada percakapan lebih detail antara Dinda dan Keara tentang permasalahan dan sedikit masa lalu Keara, kemudian ada tambahan sedikit scene Denise untuk lebih menonjolkan karakter Denise yang keibuan, kalem, dan sebagainya agar penonton yang bukan pembaca lebih mengerti sosok Denise dan efeknya pada tokoh-tokoh utama lainnya.

Kemudian latarnya, film ini mengambil latar tiga tempat, yaitu Jakarta, Singapur, dan Bali yang ketiganya digambarkan jelas melalui lensa kamera dan semuanya terlihat cantik dan cukup hidup.

Yang terakhir dialognya, ini bagian yang paling aku suka. Narasi Keara dan Harris di awal film benar-benar sama persis seperti di novel Antologi Rasa. Senang sekali mendengar kalimat-kalimat di buku keluar dalam bentuk suara narasi aktor dan aktris di sebuah film. Walaupun menurut sependengaranku narasi-narasi itu kurang luwes dibacakan, padahal narasinya sudah sangat bagus dan indah, seandainya dibacanya benar-benar natural. Kemudian ada beberapa percakapan yang persis seperti yang ada di buku, walaupun tetap ada beberapa yang terdengar kaku. Terdengar kaku mungkin salah satunya karena beberapa narasi dan percakapan yang tadinya di novel adalah bilingual, di film justru diterjemahkan ke bahasa Indonesia, ini penting karena sebenarnya sosok Keara akan lebih Keara jika berbicara bilingual, terlepas dari memang aktrisnya sendiri, Carissa Perusset memang masih belajar berbahasa Indonesia (aku tahu dari beberapa live video di Instagram @sorayaintercinefilms). Tapi overall, kira-kira 75% mirip dan dieksekusi dengan oke dan jujur, itu yang membuat pembaca sepertiku senang.

"If travel teaches us how to see, how come every time all I see is you?" (Natassa, 2012:63).

Akhir film ini benar-benar di luar ekspektasi tapi tetap bagus.

Pesan dari film ini---haha ini sih yang aku tangkap aja ya, aku bukan ahli di bidang perasaan---bahwa perasaan itu gak bisa kita lawan, perasaan apapun itu, perasaan yang sebegitu hebatnya terhadap seseorang sering membuat kita buta, makannya ada kutipan; “If travel teaches us how to see, how come every time all I see is you?”, tapi kita harus tetap ingat bahwa kita pasti bisa mengatasi perasaan itu jika akhirnya dirasa terlalu berlebihan dan menyakitkan dengan menjadi lembut untuk diri kita dan mereka yang terlibat.

3,5 dari 5 bintang untuk Antologi Rasa!

Antologi Rasa: Untuk Yang Sudah Menemukan Namun Tak Bisa Memiliki, masih ada di bioskop. Silakan nonton!

Buku Antologi Rasa Cetakan Keenam: September 2012

Comments

  1. Complicated? Hahahaha. Mungkin itu satu kata untuk menggambarkan empat orang tokohnya.

    Belum pernah baca bukunya, tetapi setelah baca ulasan singkat di sini jadi mulai tertarik. :p

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera