Skip to main content

Mudik-Liburan (Part 3)

Baca juga Mudik-Liburan Part 1 dan 2 ya!

Rasanya berat meninggalkan Malang, kota yang tenang, adem, dan sangat pas dijadikan tempat tinggal. Tapi aku harus meninggalkannya untuk menuju tempat keluargaku di Tulungagung yang juga kurindukan. Di perjalanan menuju Tulungagung aku membayangkan bagaimana wajah-wajah yang sudah lama tidak kulihat langsung, terutama wajah Mbah Putri dan Mbah Kung.

Perjalanan Malang-Tulungagung memakan waktu sekitar 4 jam 30 menit. Pukul 20:30 aku sudah mendarat di rumah Bulik Rina di daerah Tawangsari. Walaupun sempat tersasar beberapa meter dari gang rumah Bulik, tapi syukurlah dengan bertanya ke warung terdekat yang ternyata memang kenal dengan sepupuku akhirnya aku sampai juga di rumah Bulik Rina. Setelah mengobrol sebentar, kira-kira pukul 21:00 Bulik Rina mengantarku ke Desa Tiudan, Kecamatan Gondang tempat tinggal Mbah Putri dan Mbah Kung. Perjalanan sekitar setengah jam dan gerimis turun saat itu.

Sesampainya di rumah, aku disambut dengan suka cita. Mereka sudah rindu juga. Adikku Zenith sudah di sana sejak tanggal 7, sementara aku ke Malang saat itu. Aku istirahat hingga subuh.

Paginya aku menyusul Mbah Putri yang sudah berbelanja ke Pasar Cakruk, pasar yang kira-kira letaknya sekian ratus meter dari rumah hehe. Pasar pagi itu sangat bersih dan yang berjualan di sana adalah warga sekitar desa Tiudan dan desa-desa di sekitarnya. Walaupun pasar tradisional, Pasar Cakruk tidak kotor dan becek. Hampir setiap di Tulungagung aku selalu menyempatkan untuk ikut ke pasar merasakan atmosfer perdagangan di desa.

Sorenya, aku, Zenith, Bulik Rina, Om Indro, Asa, Fazah, dan Mbah Putri ke Ranu Gumbolo. Tempat wisata ini terletak di Desa Mulyosari, Kecamatan Pagerwojo, Tulungagung. Ranu Gumbolo merupakan danau yang dikelilingi bukit-bukit dengan hutan pinus. Kebayang dong indahnya gimana?
Untuk menuju Ranu Gumbolo dari desa Tiudan, kami menuju arah Waduk Wonorejo, melewati waduk tersebut dan jalan terus melewati bukit-bukit yang indah dan adem. Tiket masuk ke Ranu Gumbolo sebesar 5.000 rupiah, dan untuk anak dibawah 12 tahun tidak perlu membayarnya (sepertinya sih, soalnya Fazah baru 10 tahun dan gak perlu bayar). Kita juga bisa menyewa hammock seharga 5.000 rupiah, murah kan?



Di sana ada hutan pinus yang sejuk, kemudian untuk mencapai danau, kita harus menyeberangi sungai kecil, tidak perlu menggunakan jembatan, kita bisa berjalan di atas batu-batu sungai. Kemudian di danau tersebut tersedia semacam rumah pohon *cmiww* (itu loh semacam papan yang dipasang di atas pohon untuk orang duduk-duduk dan foto-foto) tempat wisatawan bisa berfoto, ada juga perahu-perahuan.









Hari kedua di Tulungagung, Rabu, 12 Juli 2017 pagi hari aku ikut ke Pasar Cakruk untuk berbelanja dengan Mbah Putri dan mampir ke Rumah Bude Rowi yang masih saudara dengan keluarga kami. Pagi itu aku sarapan dengan pecel pincuk yang enak sekali. Kemudian siangnya kami ke MAN 2 Tulungagung tempat Om Indro mengajar, sekaligus sekolah baru Asa. Kami ke sana untuk melihat fashion show dari bahan-bahan bekas. Lucu-lucu dan kreatif. Ada juga pertunjukan tari dan band, serta bazaar makanan, ya seperti pensi sekolah pada umumnya.



Susu ini dibeli di salah satu stand yang menjual berbagai produk lokal seperti susu, madu, dan sebagainya. Kata adikku, susu ini dijual juga di Kampung Susu Dinasty. Sayang sekali aku tidak sempat ke sana, padahal tempatnya sangat dekat dengan rumah Mbah.

Foto bareng siswa baru dan mahasiswa baru.

Setelah itu kami ke GunungBudheg. Tiket masuk ke gunung ini sebesar 5.000 rupiah, namun saat itu karena sudah sore, kami tidak ditarik biaya tiket masuk. Tidak tahu orang-orang lain yang baru datang saat kami turun. Cukup banyak yang mendaki gunung ini, terutama pendaki-pendaki dari Tulungagung, termasuk keluarga Bulik Rina. Katanya para pendaki biasanya mulai mendaki malam hari untuk mengejar matahari terbit.






Pemandangan Tulungagung sangat indah jika dilihat dari atas Gunung Budheg ini. Walaupun kami tidak naik ke Gunung Budheg hingga puncak (karena gak cukup juga waktunya), mata kami sudah cukup dimanjakan dengan pemandangan persawahan yang indah dibawahnya. Jika ingin ke Gunung Budheg hanya sekedar berfoto, disarankan untuk datang pagi atau sore saat matahari masih cukup bagus, karena jika kemaghriban seperti kami, hasil fotonya kurang gereget hehe dan cukup dingin juga.

Menjelang maghrib kami pulang ke rumah dan packing barang-barang yang akan kami bawa untuk kembali ke Serang besok paginya.

Itulah cerita Mudik-Liburanku. Semoga liburan mendatang atau lebaran tahun depan aku bisa ke Surabaya, Malang, dan Tulungagung lagi untuk mengunjungi tempat-tempat lain yang belum sempat kukunjungi kemarin.

Aku pulang dengan kereta dari Stasiun Tulungagung (05:20) ke Stasiun Kediri (06:10), kemudian dari Stasiun Kediri (07:51) langsung ke Stasiun Serang (02:00) dengan kereta Krakatau dan sampai di rumah pukul 02:15 dini hari. Alhamdulillah... baru sampai rumah sudah disibukkan dengan persiapan KKM.


See you on my next post!

Comments

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera