Skip to main content

Novel Versus Film 99 Cahaya di Langit Eropa (part 1)

Pagi 22 Desember lalu aku baru saja selesai membaca novel karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra yang berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa dan siangnya aku langsung menonton film dengan judul yang sama, yang sudah ditayangkan di seluruh bioskop di Indonesia.

Kalau kita bertanya pada penggemar Harry Potter, kebanyakan dari mereka akan berkata bahwa filmnya tidak sebaik novelnya. Mereka menilai dari berbagai segi: cerita (yang mereka bilang tidak sedetail yang ada di novel), alur, deskripsi tokoh-tokohnya (yang mereka bilang tidak sesuai dengan yang ada di novel), dan lain-lain. Menurutku sesungguhnya novel dan film itu tidak bisa dibanding-bandingkan, karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri. Tapi yang namanya membandingkan suatu cerita novel dan cerita film itu seru sekali, terlebih sekarang banyak sekali film-film yang diangkat dari novel. Wajarlah kalau aku membandingkan novel 99 Cahaya di Langit Eropa yang mulai terbit pada tahun 2011 ini dengan film yang baru saja ditayangkan di bioskop pada bulan ini.

Oke, di sini saya akan memaparkannya menjadi beberapa poin yang membedakan cerita di novel dan di film.

1. Dari sisi kecocokan cerita.

·  Di novel dan di film ceritanya tidak sepenuhnya sama. Contohnya saja, di dalam novel, Marion Latimer yang seorang peneliti di Arab World Institute Paris dan Fatma Pasha yang merupakan seorang imigran Turki yang Hanum kenal di tempat kursus Bahasa Jerman itu tidak saling kenal. Hanum mengenal Marion bukan dari Fatma, melainkan dari seorang imam di Islamic Center di Wina, Austria. Imam tersebut bercerita tentang Marion yang berpindah agama menjadi seorang muslim karena dia menemukan keajaiban-keajaiban setelah dia mempelajari sejarah-sejarah Islam dan segala sesuatu tentang Islam. Jadi, Marion dan Fatma itu tidak saling kenal. Kalau dipikir-pikir, para pembuat film seperti membuat film ini jadi lebih ramai dan tokoh-tokohnya berkaitan satu sama lain. Dunia seakan dibuat sempit.

·  Ayse, anak semata wayang Fatma adalah seorang bayi, bukan seorang anak SD. Dalam novel, Ayse digambarkan selalu digendong oleh ibunya. Entah apa maksud sang sutradara---atau siapapun itu yang membuat filmnya jadi benar-benar berbeda. Entah karena kesulitan mencari seorang bayi untuk memerankan anak Fatma, atau memang sengaja dibuat seperti itu supaya ceritanya lebih hidup, karena seorang Ayse yang sudah sebesar itu pastilah sudah bisa berbicara dan otomatis akan meramaikan adegan-adegan dalam film. Terlebih Ayse diceritakan sebagai seorang siswa di sebuah sekolah dasar yang sering dibully oleh teman-temannya karena dia menggunakan kerudung. Mungkin para pembuat film itu bermaksud untuk lebih menghidupkan cerita, dengan memperkuat gambaran keadaan orang-orang muslim di Eropa yang sering mendapatkan kesulitan karena atribut keislaman mereka. Entahlah, yang jelas aku kurang puas dengan cerita yang berbeda seperti ini.

·  Marion dan Hanum berjalan-jalan di Perancis hanya satu hari, bukan dua hari. Tapi di filmnya mereka jalan-jalan di Perancis dua hari karena Marion yang diperankan oleh Dewi Sandra berganti pakaian.

· Di dalam novel, tidak diceritakan ada perempuan di kampus Rangga yang seperti "suka" sama Rangga. Tapi di filmnya ada, itu loh yang diperankan oleh Marissa Nasution.

· Di Islamic Center tidak diperlihatkan orang-orang yang sedang berjemur di sungai Danube. Padahal menurutku, seharusnya hal ini ada di dalam filmnya karena penjelasan dari imam di Islamic Center mengenai keadaan Masjid yang khusuk yang bertolak belakang dengan suasana sungai Danube pada musim panas itu merupakan salah satu dari sekian banyak poin penting yang harus digaris bawahi dari keseluruhan cerita. Entahlah, sepertinya saat itu bukan musim panas, sehingga sungai Danube tidak dipenuhi oleh orang-orang yang berjemur. Mungkin hal ini juga yang membuat mereka tidak mengambil gambar orang-orang yang sedang berjemur tersebut.

·  Aku tidak mengerti mengapa mereka bisa bertemu dengan Fatin Shidqia Lubis di Kahlenberg untuk membuat video klip terbarunya. It doesn't make a sense at all! Fatin kan tahun segitu belum terkenaaal. Dan masih banyak lagi adegan-adegan dalam film yang tidak sesuai dengan novelnya.

2.       Dari sisi kelengkapan cerita.

Yang namanya novel dengan film itu pasti beda tingkat kelengkapannya. Sepertinya sudah sangat biasa kalau film tidak lebih detail dari novel. Seperti yang terjadi pada cerita Harry Potter karya J.K. Rowling. Tidak usah dijelaskan, yang jelas filmya tidak menampung semua yang ada di novel. Yang membuat aku semakin kecewa adalah penjelasan-penjelasan sejarah yang terdapat di film tidak selengkap seperti yang ada di novel. Seperti penjelasan tentang Kara Mustafa yang kurang detail, penjelasan yang tidak jelas tentang lukisan di museum Louvre yang menggunakan huruf Kufic, dan lain-lain.

Selebihnya bagus deh. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih memilih novelnya.

Oke, itu sepertinya itu saja sudah cukup menggambarkan perbedaan novel dan filmnya. Aku pribadi tidak menyarankan untuk menonton filmnya, karena pasti para pembaca sekalian kecewa. Tapi kalau ingin melihat keindahan Eropa, film ini memang wajib disaksikan. Aku juga penasaran dengan 99 Cahaya di Langit Eropa part 2. Semoga part 2 jauh lebih keren ya. Amin.

Maaf ya tulisannya berantakan. Sudah jarang menulis sejak kuliah.

See ya on my next post!

Comments

  1. sy krg bgtu sk novel. sy sknya sejarah...

    slm kenal.. http://citramediatica.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo mau nonton film gratis gan
      http://www.nontonfilm.tv/2014/07/99-cahaya-di-langit-eropa-part-2-2014.html

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera