Skip to main content

Frau Nonon

Hari ini istimewa. Jam pelajaran ke-5 dan ke-6 yang aneh---aneh karena ini kali pertama aku mengalami hal yang seperti ini. Mungkin beberapa temanku juga merasakan hal yang sama.

Frau Nonon, kami biasa memanggilnya. Beliau guru kami---guru Bahasa Jerman. Dia menyebalkan, sepertinya dia galak itu penghakiman pertama yang meluap di udara ketika pertama kali aku melihatnya. Mungkin teman-temanku juga berpikir demikian. Tapi hanya butuh beberapa hari---beberapa minggu mungkin---aku lupa, untuk beliau untuk beradaptasi, bersatu dengan murid-muridnya.

Aku masih ingat ketika kami---aku dan teman-teman satu kelas berkumpul di kelas kami, menangis bersama-sama mengeluarkan semua uap panas yang sudah terkumpul di kepala dan membiarkannya terbang jauh. Aku juga masih ingat saat semua perempuan penghuni kelas yang berada di samping toilet wanita itu bersatu, belajar Bahasa Jerman bersama di rumah Ayu. Aku selalu ingat saat kami bersama-sama merayakan ulang tahun beliau siang itu. Aku ingat saat menghadiri pernikahan beliau di kediamannya yang sederhana itu. Juga pagi tadi saat aku memanggilnya dengan semangat yang berbeda dari biasanya dan mencium tangannya sebagai tanda hormat seorang murid kepada gurunya. Hampir semuanya aku ingat. Semua memori tentang aku, teman-temanku, dan guru kami itu.

Siang tadi Frau Nonon masuk ke kelas agak terlambat, mungkin sekitar lima sampai sepuluh menit. Aku dan Vivi, Atlet Karate yang sudah banyak meraih penghargaan itu sudah menduga-duga akan hal-hal yang akan terjadi nanti. Frau Nonon akhirnya masuk kelas kami, masih seperti biasa. Memberikan kertas yang berisi soal-soal ulangan untuk Upi yang minggu lalu tidak bisa hadir, lalu bercerita seperti biasa. Tapi ada yang berbeda ketika tiga sampai lima menit pertama beliau berbicara. Suaranya terdengar aneh, seperti orang yang menahan tangis. Beberapa saat kemudian aku mendapati matanya berkaca-kaca, teman-temanku bahkan ada yang menangis. Beberapa menit kemudian, setelah kami melihat nilai ulangan Bahasa Jerman  di buku penilaian itu entah siapa yang memulai, tiba-tiba secara bergantian teman-temanku---murid perempuannya berpelukan dengannya.

Kampret! aku berkata dalam hati, memaki diriku sendiri. Kenapa gue jadi nangis sih? aku berkata dalam diam sambil mengusap air mataku yang jatuh. Sebenarnya aku malu untuk menangis di depan banyak orang. Aku ingin menjauh dari gerombolan teman-temanku yang mengelilingi guruku itu tapi entahlah, aku hanya bisa melihat mereka satu-persatu berpelukan dengan Frau Nonon.

Tiba-tiba Frau Nonon berkata, "Atu..." Atu itu panggilanku saat aku SMP, sejak kelas XI nama panggilan itu terdengar lagi. Aku merasakan tangannya di lenganku. Aku bilang aku ingin menanyakan sesuatu---masih tentang Bahasa Jerman, tapi Frau Nonon bilang dia hanya ingin memelukku. Aku mengucapkan doa agar beliau sukses. Tiba-tiba air mataku terjatuh lagi. Aku berusaha menahannya tapi tetap tidak bisa, apalagi saat beliau meminta maaf kepadaku. Aku lantas berkata ya. Aku juga meminta maaf atas semua kesalahan yang telah aku lakukan. Tiba-tiba aku berkata bahwa aku mencintai beliau sama seperti aku mencintai surga. Sebenarnya aku tahu kalimat itu dari penulis puisi cilik yang bernama Faiz. Tapi entahlah mengapa tiba-tiba aku berkata demikian. Mengapa aku tidak malu? Mengapa aku tidak gengsi? Apakah mungkin karena aku tahu kami akan berpisah dan sulit untuk bertemu lagi sehingga mendadak rasa gengsi itu hilang. Aku tidak tahu, mungkin suatu hari ketika aku melihat seseorang yang baik seperti beliau atau bahkan lebih baik dari beliau akan pergi meninggalkanku entah kemana, aku akan melontarkan kata-kata yang sama atau bahkan disertai dengan hujan air mata yang membabi buta.

Vivi pernah bertanya kepadaku, Mengapa aku tidak menangis saat mengetahui bahwa Frau Nonon akan pergi. Aku menjawabnya dengan jujur bahwa aku menganggap semua guru itu sama, sama-sama istimewa untukku. Selama ini aku tidak pernah menangis saat aku tahu aku lulus sekolah, meninggalkan sekolah beserta guru-guruku. Jadi jika aku menangis, rasanya itu tidak adil. Mengapa aku hanya menangisi Frau Nonon saja. Tapi belakangan aku baru sadar, saat aku memikirkan lagi pertanyaan Vivi tempo hari. Ternyata aku pernah sekali menangisi seorang guru yang pergi meninggalkanku. Sebenarnya beliau tidak pernah benar-benar mengajarku ilmu-ilmu, beliau guru biola adikku. Bertahun-tahun lalu, saat aku dan adikku masih belajar memainkan alat musik, beliau meninggal dunia. Beliau hanya pernah beberapa kali bertanya kepadaku mengenai sekolahku dan piano. Aku tidak begitu mengenalnya. Yang aku tahu hanyalah namanya, Suyatna. Mama biasa memanggil beliau Pak Suyatna. Entahlah, aku kurang mengerti dengan ini semua. Mungkin ada kharisma yang tersimpan dalam diri Pak Suyatna yang membuatku mencintainya dan sangat sedih juga merasa sangat kehilangan ketika aku mengetahui beliau sudah di alam lain---alam yang aku harap lebih indah dari alam yang beliau huni sebelumnya.

Mungkinkah guruku yang satu ini juga memiliki kharisma yang sama dengan Pak Suyatna? Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas, aku masih memandangnya sama---sama seperti guruku yang lain. Aku juga tidak ingin mengistimewakannya. Apalagi membanding-bandingkannya dengan yang lain---seperti apa yang sering aku dengar dari mulut-mulut itu.

Sekarang---sebenarnya sejak aku tahu bahwa beliau akan meninggalkan kami untuk hidup yang dipilihnya, aku sudah berencana untuk merelakannya. Dan aku menjamin bahwa aku tidak akan menangis saat beliau pergi. Air mataku ternyata terjatuh juga. Kesannya seperti aku tidak mengikhlaskannya, padahal aku berani menjamin seratus persen bahwa aku rela. Ah, sudahlah. Yang jelas sekarang aku tidak menangis lagi walaupun saat istirahat tadi sampai Pelajaran Geografi berlangsung, suasana hatiku jelek. Suasana hatiku sempat berada di titik terburuk bukan karena aku tidak merelakannya---mungkin karena aura mereka kurang bagus.

Terakhir beliau berkata kepadaku, jika aku mencintainya, aku harus mendapatkan nilai yang bagus dan lulus UN. Kalau yang ini sudah pasti, lulus UN bukan hanya untuk Frau Nonon, tetapi juga untuk diriku sendiri dan kedua orang tuaku juga semua yang sudah berkontribusi dalam pendidikanku.

Selamat Frau, telah membuat aku menangis. Semoga apa yang menjadi pilihan Frau Nonon, adalah yang terbaik dan direstui Tuhan. Amin.

Semoga dengan adanya tulisan ini di blogku, aku bisa mengingat Frau Nonon. Sesungguhnya memang ini yang Frau Nonon minta---diingat oleh murid-muridnya sebagai guru yang pernah mengajarkan mereka Bahasa Jerman. Semoga dengan adanya tulisan ini, Frau Nonon juga bisa mengingatku dan teman-temanku.

Terima kasih untuk semua yang sudah Frau Nonon berikan, kami yakin Tuhan pasti membalasnya dengan balasan yang setimpal.

Comments

  1. Ich liebe dich, nak :)

    ReplyDelete
  2. fleshlight latest
    sensation in fleshlight tin! Pragmatically speaking, here there's aill, there is sure to be relationship advice online, but there are likely not a lot of vegetables is an intentional choice.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Review: Himouto! Umaru-chan (Anime TV Series)

Cover Serial Televisi Anime Himouto! Umaru-chan Judul                 : Himouto! Umaru-chan Penulis              : Takashi Aoshima Sutradara         : Masahiko Ohta Tahun Tayang : 2015 Himouto! Umaru-chan adalah serial manga yang  ditulis oleh Sankaku Head yang kemudian diadaptasi ke dalam serial televisi pada tahun 2015 lalu, tepatnya anime ini tayang pada tanggal 9 Juli 2015 hingga 24 September 2015. Kemarin saya baru saja selesai menonton serial anime ini. Hanya ada 12 episodes, sehingga tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengetahui akhir cerita serial anime bergenre komedi ini. Umaru adalah seorang gadis SMA yang sangat pintar, berbakat, baik hati, sangat cantik, serta menarik, sangat sempurna sehingga semua orang menyukainya. Namun sifat-sifat tersebut berubah drastis seketika Umaru masuk ke dalam apartemen kecil kakaknya, Taihei. Umaru berubah menjadi seorang pemalas. Ia hanya mau bermain game, makan, dan tidur. Oke, langsung lanjut ke epis

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera