Skip to main content

I Wish I Knew What I Really Want

So it’s been a while since the last time i wrote my thoughts about myself, my surrondings which affects me to have such thoughts.

Aku pernah baca buku contamporary romance yang lumayan terkenal, ada satu kutipan yang menarik, “bahagia adalah cita-cita yang tercapai” kurang lebih seperti itu. Dan apa yang menjadi fokusku sekarang dalam kutipan itu berbeda dengan yang dulu. Kalau dulu, fokusku adalah kata “bahagia” tapi sekarang aku pikir “cita-cita” itu dasar yang harus ada dalam pikiran kita untuk bikin kita hidup dan punya keinginan untuk ke sana, baru kemudian bisa bahagia. Aku tahu cita-cita dalam kutipan itu juga berarti luas. Tapi cita-cita yang aku pikirkan jauh lebih sempit dari itu.

Bagaimana jika kita hidup tanpa itu? Maksudku, hidup asal bergulir seperti bola. Mengerjakan apa yang harus dikerjakan, belajar apa yang harus dipelajari, berusaha mengejar hal-hal saat ini sambil terus kebingungan soal apa sih maunya aku?

Ada teman kuliah yang pernah bertanya, “Lo abis ini mau kemana, Tu?” saat itu aku---jujur---seperti dibangunkan dari tidur yang nyaman. Im not literally sleeping tho, but it feels like that. Kemana aja pikiranku selama ini? Ternyata aku hanya fokus ke masa “ini”, masa kuliah yang kuliah aja, kuliah tok. Kemudian dia lanjut, “Kok gue kayak gak siap gitu loh ngadepin dunia kerja.” Aku pun menjawab jawaban yang jelas dan konkret, “Gue mau ke Kampung Inggris habis ini.” End of story. Kami gak ngomongin masa depan lagi. And i feel like i don’t want to talk about it too. Karena pikiran ini terlalu bingung, iya juga ya, apa sih maunya aku? Apa aku siap untuk ke dunia kerja? Apa aku siap untuk menjalani aktivitas yang sangat berbeda setelah ini?

Aku rasa pertanyaan itu akan lebih mudah dijawab jika aku punya cita-cita. Cita-cita sempit aja, seperti pekerjaan masa depan. Aku gak tau. Ketika ada orang ngomongin profesi PRO perusahaan, ya, aku pikir aku mau jadi PRO. Ketika ada orang ngomongin profesi Dosen, ya, aku pikir aku mau juga jadi Dosen. Ketika ada orang ngomongin enak banget berwirausaha, ya aku ingin jadi Pengusaha. I wish i knew what i really want. Aku bahkan baru ingat terakhir kalinya aku punya cita-cita adalah saat SMA, waktu itu aku ingin sekali bekerja di kedutaan, setidaknya jadi staffnya aja yang tiap hari kerja bertemu bule dan rapat-rapat pakai bahasa-bahasa asing.

Why i just realize it now? That i don’t have something to drive me. Apa yang kurang selama ini? Apa yang hilang selama ini? Apa karena selama ini aku terlihat fokus dan baik-baik aja jadi gak ada yang menyadarkan aku ini maunya apa? Atau mungkin aku aja yang denial setiap kali tergabung dalam suatu percakapan soal masa depan di kelompok, aku malas atau gak mau berpikir panjang seperti teman-temanku yang lain yang punya sesuatu yang lebih besar untuk dikejar daripada sekedar lulus kuliah aja, seperti, “Gue mau lulus 3,5 tahun karena gue udah telat setahun.” (walaupun gue tahu itu terlalu naif dan kurang masuk akal untuk dicapai secara tempat kuliah kami punya kontrak kuliah yang kurang fleksibel untuk percepatan, tapi tetap, itu bagus daripada gak punya sama sekali), atau “Gue mau kerja di Bank.” Atau “Gue mau jadi Dosen.” Atau “Gue mau jadi Jurnalis Bola.” Atau “Wartawan Musik di Rolling Stone.”



Selama ini aku selalu mengerjakan dan belajar hal-hal yang aku sukai aja ternyata. I should have known it. Aku emang terlalu malas untuk keluar dari zona nyaman, bahkan cita-cita pun aku gak punya. Maksudku, ya kalau mau ikuti realita sih cita-cita gak ngaruh, kuliah gak harus ngikutin cita-cita, dan sebagainya, tapi kalau aku lihat lagi, it is matter so much. Karena itu yang bisa bantu orang untuk menyetir, karena kalau gak punya ya lihat aku yang ternyata selama ini kerjanya cuma mengikuti arus, belajar apa yang harus dipelajari, kerjain apa yang harus dikerjain, asal bergulir seperti bola.

Sebenarnya aku sedikit-sedikit berpikir soal ini semasa aku kuliah. Seiring dengan majunya teman-teman lainnya, aku juga mulai melihat mereka dan apa yang mereka lakukan. Aku pernah cerita ke salah satu temanku (implicitly) kalau rasanya akan keren kalau aku bisa seperti salah satu teman SMAku yang sekarang sudah sukses di jalannya sendiri tanpa bergantung ke orang tuanya kecuali soal finansial saat kuliah, sisanya mandiri, ambitious in a good way. Dan temanku menjawab, “Lo juga ambisius kok, Tu.” Ambisius dari mananya? Ambisius setauku sifat semangat seseorang untuk mencapai hal yang diinginkan dengan cara bekerja, belajar, halal, haram, dan sebagainya. Jadi ketika dia punya cita-cita dan ada usaha untuk mencapainya, itu baru namanya ambisius. Aku ingin menertawakan diri sendiri rasanya. Cita-cita aja aku gak punya, gak seperti dia yang punya cita-cita lulus 3,5 tahun and really put an effort in it. Di sisi lain bagus lah ada yang menilaiku seperti itu as long as it is good dan membuatku terus sadar. Tapi di sisi lain, kesadaran itu membuatku terus kebingungan, sampai lama-lama aku berkata sendiri, “Ya udah lah, jalanin aja dulu yang sekarang.” Begitu terus selama masa kuliah. Asal menggelinding seperti bola. Yang penting hasil-hasil kecil yang didapat baik dan membuat diri dan orang tua tenang, ya aku jalani. Tapi untuk hal yang besar, aku masih gak tau sampai sekarang. Bahkan aku juga bingung ketika kerja nanti apakah akan menetap di satu tempat atau berpindah-pindah. Apakah nanti aku lanjut kuliah atau gak. Jangankan berpikir jauh ke sana, selepas keluar dari pekerjaan yang sebelumnya hingga sekarang, aku masih bingung pekerjaan dan tempat yang seperti apa yang bisa cocok denganku, aku cocoknya dimana. Not that im spoiled, indeed, it is important. Lagi, bagaimanapun cita-cita itu tetap adalah sesuatu yang menurutku bisa membantu diri untuk menyetir dan mengendalikan masa depan, bukan realitas. Tapi tetap, cita-cita harus yang masuk akal juga, yang kira-kira bisa diraih.

Aku harap aku tau apa yang aku mau secepatnya.

Comments

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera