Skip to main content

Perjalanan Ke Kelud, Makam Bung Karno, dan Pantai Pasetran Gondo Mayit


Kangen blog ini. Belakangan lelah cari-cari pekerjaan, belakangan hanya nonton video-video di youtube dan baca novel-novel ringan. Waktu ingat masih ada cerita-cerita perjalanan yang belum kubagi, aku langsung lihat-lihat galeri foto lagi dan yes, semoga berbagi di sini bisa sedikit mengobati rasa bosan jadi pencari kerja.

PS: Postingan ini bakal panjang.

Sabtu, 29 September lalu aku bersama rombongan teman-teman TOEFL Camp Elfast berangkat jalan-jalan dengan mobil travel ke beberapa tempat yang masih baru untukku. Tujuan pertama kami adalah Gunung Kelud. Memakan waktu hampir 1 jam dari Pare hingga Kelud. Waktu itu sekitar pukul tujuh, udara gak terlalu dingin tapi sangat menyegarkan. Di dekat tempat parkir kendaraan pengunjung ada banyak warung dan tukang jualan nanas dan semacam labu kecil dan lonjong yang katanya manis. Nanas yang dijual kecil-kecil dan murah, gak heran harganya murah, mungkin karena itu diambil langsung dari kebun-kebun mereka yang letaknya di sekitar Gunung Kelud yang kami lewati sebelumnya.

Setelah sarapan, kami melanjutkan mendaki gunung. Hmm, rasanya agak kurang pas kalau disebut mendaki karena jalan yang kami lalui beraspal dan bagus, jadi rasanya terlalu mudah untuk mendaki. Lagipula tanjakannya tidak terlalu terjal sehingga aku merasa seperti tidak mendaki (sombooong). Tapi serius, memang ini gak seperti bayanganku, yes, i didn’t search it first on the internet about what Gunung Kelud looks like, i love to keep it as a surprise for myself, dan ternyata selain udaranya gak sedingin Ijen yang seminggu sebelumnya kutaklukkan (sombooong, haha let me do it for you guys), trek dan jarak untuk menuju kawahnya pun gak sejauh Ijen. Kira-kira hanya butuh waktu 20 menit termasuk selfie di tengah perjalanan, kami sudah sampai di pintu gerbang menuju Kawah Gunung Kelud. Tapi sangat disayangkan kami gak bisa masuk karena---aku gak begitu yakin---sepertinya beberapa tukang ojek dan salah seorang penjaga gunung yang berpatroli tersebut sengaja menutup gerbangnya agar kami gak bisa melanjutkan perjalanan menuju kawah. Katanya, kami boleh masuk, asal naik ojek, karena katanya, kalau jalan kaki, khawatir terpeleset (what? Ini logika dari mana ya mohon maaf, kalau jalanan licin bukannya malah tambah bahaya naik kendaraan roda dua?) terus katanya, takut di kawah ada apa-apa, jadi bisa langsung diangkut naik motor (hmm, kalau ini masuk akal sih, mengingat Gunung Kelud pernah meletus parah tahun 2014 lalu). Sebenarnya aku ingin sekali ke kawah, gak apa-apa deh walaupun harus naik motor, toh bayarnya juga cuma Rp. 20,000 untuk bolak-balik, tapi teman-teman lainnya seperti udah gak mood, lagipula teman-teman yang sudah berangkat dari pagi naik motor sendiri sudah di jalan kembali dari kawah untuk menemui kami, jadi yaaa gak asik juga kalau aku kekeuh ke kawah naik ojek sendirian dan kebingungan di kawah karena gak ada teman. Aku iri sama mereka yang sudah ke kawah sejak pagi, mereka gak ketemu ojek-ojek dan penjaga kawah ini jadi bisa menerobos masuk melewati gerbang yang belum terkunci juga.




Long story short, kami turun lagi setelah foto-foto, kemudian aku mencicipi nanas yang ternyata manis, dan kami menuju destinasi selanjutnya, Makam Bung Karno di Blitar.

Itu bukan kali pertama aku ke Blitar, sebelumnya pernah tapi hanya lewat dan berkeliling di kotanya sebentar waktu mudik lebaran beberapa tahun lalu.  Blitar kota kecil yang lumayan sepi dan gak macet (setidaknya pada saat itu). Kami ke museum Soekarno yang terletak di kompleks makam Bung Karno, di sana ya seperti museum pada umumnya, banyak memajang benda-benda bersejarah, foto-foto pahlawan, segala hal tentang Bapak Proklamasi Indonesia dari maket rumah-rumah yang pernah ditempatinya, sampai sederet gelar yang beliau dapatkan dari berbagai institusi di seluruh dunia.

Ini satu-satunya gambaran yang kupotret di sana.
Setelah mengambil gambar ini dengan hp, museum penuh sesak sehingga membuat malas mengambil foto.

Di sisi lain kompleks makam Bung Karno tersebut ada makam Bung Karno dan kedua orang tuanya, yang ramai dikunjungi orang-orang untuk berdoa. Aku tidak berdoa di sana, setelah salat, kami langsung kembali ke mobil, tapi untuk keluar dari sana gak semudah masuknya, karena kami harus melewati pasar oleh-oleh yang Allahuakbar panjang sekaliii. Jadi pasar tersebut dirancang sejalur sehingga pengunjung bisa melewati semua kios tanpa terlewat (seingatku begitu), ada banyak jenis oleh-oleh dari makanan sampai pakaian, tapi tentu saja aku gak membelinya karena sudah terlanjur lelah dan lapar karena sudah siang.

Kami melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya, Pantai Pasetran Gondo Mayit. Haduh, gak suka banget ngetik nama itu. Gondo Mayit artinya adalah bau mayat. Dinamakan demikian karena menurut cerita teman-teman dan kakekku di Tulungagung, pantai tersebut pernah dijadikan tempat pembuangan mayat orang-orang Jepang oleh Belanda? Atau Inggris? *cmiiw*, tapi menurut beberapa sumber di internet, katanya sih dulunya banyak mayat terdapar di sini---entah dari mana asalnya---yang menimbulkan bau mayat *cmiiw*. Tapi terlepas dari cerita-cerita dan namanya yang menyeramkan, pantai ini sangat indah dan bener-bener seperti jarang tersentuh turis. Waktu kami kesana walaupun weekend, pantai ini sangat sepi, hanya ada kami dan beberapa pengunjung lain. Pasirnya putih dan landai membuat banyak orang betah bermain di bibir pantai, selain itu ada banyak karang di sisi lain pantai yang membuat pantai ini sangat cantik. Di pasir juga banyak kerang-kerang berserakan. Gak seperti di Anyer yang bersih dari kerang (mungkin karena banyak diambil para penduduk setempat untuk dijadikan kerajinan), di pantai ini banyak sekali kerang-kerang cantik, membuat aku makin yakin bahwa pantai ini memang belum tereksploitasi. Setelah puas foto-foto, makan ikan bakar sambil nongkrong di pinggir pantai menikmati matahari terbenam juga asik. Pantai ini adalah destinasi terakhir kami hari itu, pantai ini juga destinasi favoritku diantara tempat-tempat yang kukunjungi hari itu, kecuali mungkin kalau aku berhasil mencapai kawah Gunung Kelud.






Overall, perjalananku ke tempat-tempat baru bersama teman-teman Elfast seru dan gak mungkin dilupakan. Ini sudah sebulan lebih sejak saat itu, rasanya setiap aku ingat momen-momen menanjak Ijen, pergi ke Pulau Tabuhan, ke Kelud, ke Blitar, dan ke Pantai Gondo Mayit, tiba-tiba muncul rasa ingin jalan-jalan sama mereka lagi haha segitu kangennya dengan suasana kebersamaan dan keseruan melakukan perjalanan dengan mereka. Wish you guys a very successful life.

See you on my next post!

Comments

  1. Nggak berenang mbak? asyik kayaknya buat berenang ahahhaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. pantainya berkarang, jadi cuma celupin kaki aja. lagian gak suka berenang di pantai, lengket.

      Delete
  2. duhhh..keren bangett keindahan pegunungannya

    ReplyDelete
  3. pas di Gunung Kelud sudah bisa ke kawahnya apa belum? Dulu sebelum muncul anak gunung kelud terus meletus enak buat mandi di kawahnya itu

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Review: Himouto! Umaru-chan (Anime TV Series)

Cover Serial Televisi Anime Himouto! Umaru-chan Judul                 : Himouto! Umaru-chan Penulis              : Takashi Aoshima Sutradara         : Masahiko Ohta Tahun Tayang : 2015 Himouto! Umaru-chan adalah serial manga yang  ditulis oleh Sankaku Head yang kemudian diadaptasi ke dalam serial televisi pada tahun 2015 lalu, tepatnya anime ini tayang pada tanggal 9 Juli 2015 hingga 24 September 2015. Kemarin saya baru saja selesai menonton serial anime ini. Hanya ada 12 episodes, sehingga tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengetahui akhir cerita serial anime bergenre komedi ini. Umaru adalah seorang gadis SMA yang sangat pintar, berbakat, baik hati, sangat cantik, serta menarik, sangat sempurna sehingga semua orang menyukainya. Namun sifat-sifat tersebut berubah drastis seketika Umaru masuk ke dalam apartemen kecil kakaknya, Taihei. Umaru berubah menjadi seorang pemalas. Ia hanya mau bermain game, makan, dan tidur. Oke, langsung lanjut ke epis

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera