Skip to main content

Review: Dilan (Film)

Alhamdulillah ya Allah atas segala rezeki yang Kau berikan kepadaku, termasuk rezeki nonton film Dilan di hari pertama tayang di bioskop, yaitu hari ini. Sebagai bentuk rasa syukurku, aku akan mempersembahkan sebuah review untuk sesama makhlukMu yang penasaran ingin menonton film yang diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama.

Jadi gini temen-temen...

Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1990 merupakan novel karya Ayah Pidi Baiq yang sangat hits di kalangan pembaca Indonesia khususnya remaja. Gimana gak, dari sampulnya saja terdapat gambar seorang anak berseragam SMA, dan kalau lihat review di Goodreads atau pada blurb di bukunya, terdapat beberapa kutipan lucu dan unik khas Dilan yang bisa menarik minat anak-anak usia remaja untuk membelinya.

Karena kebekenan novel Dilan, akhirnya Dilan diangkat menjadi sebuah film dan disutradarai oleh Fajar Bustomi dan penulisnya sendiri, Pidi Baiq. Dengan menggaet artis-artis muda dan beken seperti Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Priscilla, film Dilan jadi semakin membuat pembacanya penasaran, akan seperti apa akting mereka dalam memerankan karakter utama idola pembaca, Dilan dan Milea.

Oke, mulai reviewnya ya... bismillah, disini aku berusaha untuk gak membanding-bandingkan film dan novelnya karena ya, gak bisa dibandingkan, gak apple to apple.

Poster Film Dilan
Sumber

Judul: Dilan
Genre: Drama
Sutradara: Fajar Bustomi dan Pidi Baiq
Produser: Ody Mulya Hidayat
Skenario: Pidi Baiq dan Titien Wattimena
Produksi: Max Picture
Tanggal Rilis: 25 Januari 2018 (sumber)

Film ini berkisah tentang proses pendekatan dua anak SMA, Dilan dan Milea. Dilan adalah orang Bandung yang juga merupakan anggota salah satu geng motor yang memiliki jabatan yang sangat menyeramkan, yaitu panglima tempur. Tapi biar titelnya panglima perang geng motor, di sekolah Dilan merupakan siswa yang cukup cerdas, kalau di novelnya sih Dilan diceritakan sering dapat juara kelas gitu. Sementara Milea adalah siswi pindahan dari Jakarta, di sini Milea digambarkan memiliki paras yang cantik, pintar, dan ah hampir sempurna deh. Diawali dengan obrolan singkat Dilan dan Milea di jalan menuju sekolah, mereka akhirnya saling kenal dan dengan segala usaha yang dilakukan Dilan, Milea akhirnya jatuh cinta dan menerima Dilan sebagai pacarnya.

Salah satu adegan di film Dilan. Muncul di trailernya juga kok.
Sumber

Pertama, alurnya maju, sama seperti novelnya. jadi gak bikin bingung penonton sepertiku yang kadang kebingungan kalau alurnya maju-mundur.

Kedua, dari penokohannya, film ini kalau menurutku pribadi sih pas banget memilih Vanesha sebagai Milea karena secara fisik sesuai dengan bayanganku hehe, tapi aktingnya juga pas dan cukup mewakili karakter Milea yang imut, polos, berani, punya selera humor yang cukup oke, dan senantiasa bisa mengikuti flow obrolan Dilan. Kalau untuk Dilan, hmm awalnya aku gak terlalu berekspektasi besar sih ke Iqbaal untuk memerankan tokoh yang nakal dan cukup sangar ini hehe secara Iqbaal kan imut dan anak baik-baik, eh tapi Dilan juga baik dan punya sisi imut juga sih. Saat nonton filmnya, alhamdulillah aku gak kecewa karena Iqbaal bisa menyajikan akting yang keren dan cukup bisa menghidupkan tokoh Dilan, yang romantis, baik, lucu, penyayang, senantiasa membela orang-orang yang dia sayang, berani, nakal, dan agak sangar. Film ini juga didukung dengan karakter-karakter lain seperti keluarga dan teman-teman Dilan dan Milea yang semuanya mampu menampilkan karakternya masing-masing dengan baik. Tapi kurangnya adalah, hmm disini semua pemainnya cantik-cantik dan tampan-tampan, well, it is good, karena yang namanya penonton juga ingin dimanjakan indera pengelihatannya. Tapi dengan menggunakan aktor dan aktris yang semuanya cantik dan tampan, jadi karakter utama atau karakter yang mestinya secara deskripsi menonjol kecantikan atau ketampanan dan fisiknya jadi gak terlalu terlihat. Contohnya tokoh Kang Adi---ya sebenarnya sah-sah aja sih pakai aktor setampan Reval Hadi, tapi di sini Dilan dan Kang Adi jadi terlihat seri. Dilan jadi terlihat gak lebih keren daripada Kang Adi, hehe gitu sih menurutku. Apalagi di dalam novelnya ada ilustrasi setiap tokohnya yang mau gak mau cukup mempengaruhi imajinasi pembaca yang akhirnya menjadi penonton sepertiku.

Kemudian, latarnya. Cerita yang berlatar di Bandung pada tahun 1990 ini benar-benar menggambarkan keadaan tahun 1990 dengan baik, gaya berpakaian, lingkungan, kendaraan, ah semuanya deh. Kebayang dong, Bandung tahun segitu pasti dingin dan cantik banget. Ini menjadi nilai plus dalam film Dilan, karena latar ya memang jadi salah satu unsur penting dalam cerita apapun itu, dan kebetulan aku pribadi senang dengan latar yang indah apalagi zaman dulu. Tapi biar begitu, pengambilan gambar outdoor sangat terbatas, gak benar-benar bisa menggambarkan panorama Bandung zaman dulu secara luas, pasti pengambilan gambarnya dari dekat terus. Ini wajar sih, dapat dimaklumi karena kalau panorama Jalan Buah Batu benar-benar diperlihatkan ya bisa jadi gak nyambung, karena gak sesuai dengan tahun 1990, makannya bangunan-bangunan dan kendaraan-kendaraan yang disorot sudah diatur sedemikian rupa sehingga bisa mewakili kondisi Bandung 1990. Selain itu hmm ada yang kurang greget juga dari riasan pemain-pemainnya. Sekolah di tahun 1990 kayaknya gak pake riasan deh, kalaupun iya, sederhana banget, gak sampai terlihat eyeshadow dan lipsticknya. Ini cukup menggangguku sih, karena jadi kurang natural. Tapi dari segi kostum udah bagus. Cukup keren!

Kemudian dialognya, hmm banyak mengambil dari novel, and it is good karena selain pembaca sekaligus penonton sepertiku bisa puas, hampir semua dialog khususnya saat Dilan gombalin Milea itu memang sangat pantas dan memang harus banget muncul di film karena semuanya so sweet menurutku. Penyampaian beberapa dialog terdengar kaku menurutku, tapi tetap keren dan lucu! *ya Allah, rasanya ingin spoiler tapi takut dosa* Ya, pokoknya baca dan tonton sendiri deh!

Film ini gak sekedar menyajikan upaya seorang laki-laki remaja untuk mendapatkan perhatian dari seorang perempuan dengan kata-kata dan tingkah laku yang unik dan manis, tapi lebih dari itu. Film Dilan selain berkisah tentang kisah cinta dua sejoli seperti pada film-film remaja pada umumnya, juga menyuguhkan cerita tentang keluarga, persahabatan, dan segala permasalahan di dalamnya.

Sama seperti novelnya, ada banyak pesan yang disampaikan. Dan yang cukup mengena di pikiranku adalah ketika Dilan marah dengan gurunya, Pak Suripto yang menamparnya hanya karena dia berpindah posisi barisan ketika upacara bendera. Tapi marahnya Dilan walau sampai balas menonjok gurunya, dia punya alasan bahwa guru seharusnya menjadi contoh yang baik untuk muridnya, gak bisa seenaknya menyiksa fisik, kalau guru memukul, muridnya juga bisa menyontoh gurunya memukul. Selengkapnya bisa nonton sendiri di Bioskop kesayangan kamu ya hehe.


Overall, film Dilan keren dan patut untuk ditonton! 4 dari 5 bintang untuk Dilan!

Comments

  1. Wah, aku baru nonton Dilan 1990 di hari kedua, mbak :')
    Biarpun demen sama Iqbaal, harus kuakui aku kurang sreg sama filmnya. Apa mungkin karena aku juga gak gitu sreg sama novelnya? Kalau kasih bintang, cukup 3,5 of 5 buat Dilan 1990. Aku malah paling suka peran si Anhar. Belagunya dapat. Bikin gemes sendiri HAHA

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera