Skip to main content

Buka Puasa Bersama?

Buka puasa bersama atau yang lebih sering disingkat bukber, merupakan ajang berkumpul dan bersilaturahminya keluarga besar, teman-teman, hingga orang-orang yang telah lama tidak berjumpa. Kesempatan reuni dengan kawan lama juga sering sekali diadakan sekaligus berbuka puasa. Puasa, sebuah momen yang berlangsung sebulan penuh, sekali setahun dalam kalender tahun Islam. Dan ketika menyebut kata puasa, banyak orang mengaitkannya dengan ladang pahala dimana mereka sangat termotivasi untuk beribadah dan bertaubat, memaksimalkan ibadah mereka selama sebulan penuh. Namun untuk sebagian orang lagi, puasa memang ibadah, tapi pikiran mereka juga dipenuhi dengan agenda buka puasa bersama dengan beberapa kelompok pertemanan, keluarga, organisasi, dan sebagainya. Dan masih banyak lagi arti bulan puasa lainnya.

Aku sendiri setiap tahunnya berusaha untuk memaksimalkan ibadahku, aku pun selalu senang untuk berbuka puasa bersama sambil bersilaturahmi. Saat berbuka puasa bersama di luar rumah, berusaha untuk tetap tidak meninggalkan shalat maghrib dan isya setidaknya, bahkan seharusnya aku tetap menjalankan sunnah shalat taraweh yang masih sering kutinggalkan itu.

Hari ini aku dan teman-teman dari sebuah organisasi di kampus mengadakan acara buka puasa bersama dan silaturahmi seluruh anggota dan alumni. Itu merupakan acara berbuka puasa yang seru, menyenangkan, dan damai. Aku senang bisa hadir di acara itu. Syukurlah banyak sekali teman yang tidak melupakan shalat wajib mereka, namun banyak juga yang melewatkannya. Buka puasa merupakan bagian dari ibadah (puasa), yang aku percaya memiliki bobot pahala tersendiri. Aku dan teman-temanku sudah menjalankan ibadah berbuka puasa, namun ketika waktu shalat tiba, aku dapat melihat beberapa tidak mengikuti shalat. Aku bukan orang yang senang membicarakan soal agama dan cara menjalankannya, aku bahkan tidak peduli dengan bagaimana orang lain beribadah, bahkan dirikupun masih kurang terurus dengan baik ibadahnya. Tapi merupakan sebuah ironi ketika judul “silaturahmi” dalam berbuka puasa bersama ini tidak dibarengi dengan hal yang sebenarnya justru membuat silaturahmi itu berjalan dengan lebih baik, shalat berjamaah.

Bukan hanya buka puasa hari ini saja aku menemukan hal seperti itu, tapi pada banyak acara buka puasa lainnya pun aku sering menemukan hal tersebut. Memang setiap orang punya cara menjalankan kewajiban mereka, punya cara beribadah, namun bagaimana tanggapan orang-orang disekitarmu? Ibuku pernah melarangku untuk berbuka puasa bersama, katanya, “jangan sering-sering bukber bukber, isinya kan cuma hura-hura.” Jangan sampai orang-orang disekitar kita jadi salah paham tentang ibadah berbuka puasa ini. Kata guru-guruku dan orangtuaku, puasa mengajarkan kita untuk hidup sederhana dengan menahan nafsu-nafsu duniawi, namun apakah waktu buka puasa adalah satu waktu pembenaran untuk melupakan ibadah lain yang masih merupakan rangkaian ibadah puasa? Bahkan ibadah lain ini adalah ibadah utama, shalat wajib.


Jika hanya sekedar menyantap hidangan bersama sambil mengobrol dan mengenang momen-momen kebersamaan di masa lalu sambil bersenda gurau, buat apa memberikan judul “buka puasa bersama”? Mengapa tidak “makan bersama” saja?

Comments

  1. betul, betul.. seringkali karena bukber yang bukan di rumah, malah solatnya lewat..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera