Skip to main content

Review: Cytus (Game Rhythm Keren)

Aku menyelipkan kata "Keren" pada judul review ini bukan semata-mata agar kalian tertarik membaca, tapi memang karena game ini keren.

Well, actually this is the first time i make a review about something. Sama sekali tidak terpikir bahwa postingan review pertama di blog ini adalah mengenai game.

Pertama kali kenal Cytus sekitar setengah tahun lalu. Pacarku yang memperlihatkan padaku game ini, dia juga yang mendemonstrasikan cara memainkan game ini kepadaku. Dan sekarang giliran aku yang memperkenalkan game ini kepada para pembaca dan teman-teman blogger.

Cytus adalah game ritme musik yang dikembangkan oleh Rayark Games. Nama Cytus diambil dari bahasa Yunani Cocytus yang artinya sungai ratapan, yaitu sungai yang berada di dunia bawah dalam mitologi Yunani.

Game ini punya jalan cerita yang diwakili oleh 10 chapters (untuk yang full version *harus beli*), berhubung aku tidak mau membayar untuk mendapatkan yang full version *pelit*, jadi aku hanya punya 9 chapters, yaitu:










Setiap Chapter terdiri dari 7 sampai 11 lagu. Tinggal pilih saja lagu yang kamu suka, bisa langsung dimainkan, tanpa ada "lock" seperti pada game-game kebanyakan yang harus menyelesaikan suatu level baru bisa berlanjut ke level berikutnya. Salah satu kelebihan game ini adalah, di setiap lagu, terdapat dua tipe permainan, yaitu easy dan hard. Kita juga bisa memilih apakah mau langsung memainkan yang versi mudah atau sulitnya.

Contohnya di Ververg (Chapter 1) bagian hard yaitu level 5,
bagian easy yaitu level 2.

Hard atau easy tidak ditentukan dari cepat atau lambatnya lagu tapi banyaknya lingkaran-lingkaran yang menjadi indikator kesulitan permainan. Kalau  pribadi, lebih suka yang hard, memang belum begitu andal sih, tapi lebih menantang dan tidak membosankan. Aku memang masih bermain di kisaran level 5 sampai 8 dengan nilai C hingga B. Range nilai presentase yang aku dapat sekitar 65% hingga 82%.

Lingkaran-lingkaran itu harus di-tap ketika garis hitam sudah berada di lingkaran tersebut.
Jadi mata kita harus mengikuti garis hitam itu.

Harus di-tap lama sampai keluar tulisan perfect atau good atau bad. Jika tidak di-tap keluar tulisan miss.

Kita harus menggeser (slide) jari kita sesuai tanda panah.

Code 03 (Chapter 8). Level 6 (Hard).
B (Kategori nilai). 77.06 (Presentase).
Masih kurang tahu itu presentase apa, mungkin presentase "Perfect" dari keseluruhan. Entahlah.

Galaxy Collapse (Chapter 7). Level 8 (Hard).

One thing that i hate from this game is that i have to wait 30 seconds to play the song.
Mau nunggu tapi bosen, mau ditinggal pipis juga gak bisa da cuma 30 detik. Serba salah.

Secara keseluruhan aku suka permainan ini dan merekomendasikan permainan ini kepada kalian para pembaca terutama kamu yang hobi bermain game. Game ini cukup bisa mengasah konsentrasi, menghilangkan stress, dan melatih kelincahan jari jempol di atas layar handphone. Haha.

Kalau ingin lihat review video dan perbedaan antara versi gratisan dan full version yang berbayar, bisa cek sendiri di Youtube ya, sudah cukup banyak yang me-review kok.

Oke, itulah review game rhythm Cytus. Semoga bermanfaat.

Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Cytus

Comments

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera