Bullying memang gak lepas dari kehidupan sosial kita. Dari kecil
kita sudah terpapar oleh bullying,
ringan atau berat, menjadi korban atau pelaku. Aku pernah jadi korban, dan
pernah jadi pelaku, walau seringnya jadi korban. Sedih ya? Iya.
Bullying juga ada beberapa macam dari yang pernah kubaca dan pernah
kupresentasikan beberapa tahun lalu di sekolah, ada bullying secara fisik dan ada secara verbal. Kemudian belakangan
aku dengar ada bullying sosial dan bullying siber (cyberbullying) juga. Dan masing-masing jenis bullying punya turunan tersendiri yang banyak dan bermacam-macam
juga. Tapi untuk detailnya mungkin bisa dipelajari di sumber-sumber yang lebih
terpercaya. Poinku di sini adalah bahwa kita gak akan bisa benar-benar
mengendalikan lingkungan kita agar bersih dari bullying yang sepertinya sudah membudaya, tapi kita bisa mengontrol
diri supaya gak jadi pelaku, dan mengontrol diri supaya gak berlarut-larut jadi
korban bullying. Aku gak akan
memaparkan praktiknya seperti apa, karena aku juga kurang pengetahuan soal itu
dan pasti akan sulit sekali dijelaskan oleh orang yang bukan ahli sepertiku.
Tapi at least dengan mengingat dua kalimat
ini, aku, dan mungkin kalian juga bisa mengontrol diri untuk gak jadi pelaku
dan punya keberanian untuk bisa tetap positive
thinking dan percaya diri untuk bebas dari bullying (terutama bullying
verbal dan cyber yang paling sering
terjadi padaku dan mungkin pada kalian juga) karena pelaku akan kelelahan jika
korban tetap positif, percaya diri, dan mencintai dirinya sendiri.
“Jangan mengejek orang, apalagi mengejek hal yang sulit atau bahkan gak
bisa dia ubah dari dirinya, misal fisiknya yang cacat sejak lahir, karena itu
bisa bikin orang jadi membenci dirinya sendiri bahkan menyesal jadi seperti
itu. Biarin aja dia ngejek, kamu jangan seperti itu karena kamu bisa lebih baik.”
– Papaku, dulu sekali saat mendapati aku mengejek fisik temanku karena aku
marah fisikku yang gak sempurna ini diejek.
Jujur, kalimat itu bener-bener
menempel di kepalaku bahkan hingga sekarang. Aku memang gak selalu ingat, dan
tetap jadi pelaku sekaligus korban yang sakit hati. Tapi ketika aku ingat
kalimat itu---apalagi sekarang, saat aku sudah lebih bijak daripada dulu---aku
jadi sadar kalau aku gak bisa membalas bukan karena aku takut atau malas
berurusan dengan pelaku, tapi aku harus punya rasa empati dengan kekurangan
mereka juga, aku diam biar mereka lelah dan sadar sendiri atau kadang kalau
sudah jengah, aku bilang jujur dan melawan (kadang aku melawan dengan cara yang
masih belum baik dengan marah atau bilang di depan umum sampai pelaku malu,
tapi kadang juga aku sudah bisa bilang jujur dan baik-baik secara personal ke
pelaku). Begitu juga ketika mulutku gatal ingin mengejek orang---biasanya sih name calling, ketika aku ingat kalimat
dari Papa, juga kejadian-kejadian gak enak yang kualami sebelumnya, aku jadi
berkaca bahwa aku juga gak mau diejek, atau dapat hinaan balik dalam bentuk
apapun, entah name calling juga, atau
sifat, atau status, atau bahkan fisik (yang notabene bawaan lahir dan sulit
atau bahkan gak bisa diubah), karena aku juga pernah membenci diri sendiri atas
ke-gak-sempurna-an yang menempel di fisik dan sifat diriku, jadi kenapa aku
harus mengejek atau menghina mereka baik di depan atau di belakang mereka?
Kenapa aku harus basa-basi bullshit
soal fisik atau status apapun ketika bertemu teman lama? Atau kenapa aku gak mempertahankan
ke-kalem-an dan ke-kikuk-an diriku ditengah acara sosialiasi dan gak
ngikutin arus basa-basi bullshit
mereka? (haha yang terakhir itu the perks of being a socially-awkward person
yang gak bisa basa-basi karena takut salah ngomong).
Akhirnya entah mulai kapan aku
selalu berusaha mengontrol ucapanku walaupun memang sulit apalagi ketika aku
berada di lingkungan yang saling sindir dan bully
untuk menjadi superior atau sekedar membela diri. Aku mengontrol diri supaya
aku gak jadi pelaku. Aku juga mengontrol diri untuk tetap terlihat tegar tanpa
membalas pelaku dengan hal yang negatif juga supaya pelaku lelah karena aku
yang seharusnya jadi korban gak kunjung terlihat sakit hati, supaya pelaku
sadar dengan sendirinya. Kalau sudah bisa sampai di level “bisa mengingatkan
pelaku langsung secara personal” akan lebih baik lagi dan aku belajar untuk
bisa sampai sana demi membela diriku dan demi lingkungan sosialku yang lebih
baik. Memang sulit sekali keluar dari lingkaran setan bullying, tapi kita pasti bisa.
Mungkin kita gak tahan untuk gak
membalas pelaku dengan kejahatan serupa, mungkin kita sering gatal untuk
menindas orang lain demi status yang lebih superior atau sekedar membela diri,
mungkin kita sering merasa sedih dan gak tahan ingin langsung menangis ketika
ditindas, mungkin kita bisa terlihat kuat di depan tapi menangis di belakang, mungkin
kita bisa cuek walaupun ada saatnya kita merasa lelah dari terpaan bullying yang terus menerus, mungkin kita
pernah merasa gak percaya diri karena serangan verbal yang terus menerus yang
seolah meyakinkan kita bahwa kita punya kekurangan ini-itu yang sulit atau bahkan
gak bisa diubah, atau bahkan mungkin kita pernah membenci diri sendiri yang gak
sempurna... tapi selalu ingat kita bisa jadi lebih baik.
Jadi lembut untuk diri sendiri
dan lingkungan pasti lebih mendamaikan dan menenangkan.
Selamat Hari Kartini! J
See you on my next post!
Hal seperti ini, name calling, pernah terjadi juga dimasaku SMP. Dimana teman-teman saling memanggil yang lain dengan nama orangtuanya ( baik nama Bapak/Ibu ) dengan tanpa sapaan Pak/Bu. Langsung melontarkan nama orangtua. Aku cuma bisa diam dan segan untuk sekedar "heh, gak boleh gitu". Ya, meskipun aku dilingkungan seperti itu dan aku paham seperti itu memang tidak pantas. Tapi aku cuma bisa diam serta tidak ikut menjadi tersangka, meskipun aku sempat beberapa kali menjadi korban. Karena disaat itu aku berpikir ya memeang nggak 'ilok' aku manggil nama orangtua 'njangkar' seperti itu.
ReplyDelete