Skip to main content

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa.

Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan?

Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa kurang dari dua jam lagi filmnya akan diputar. Aku sempat mengajak teman-temanku untuk nonton bersama namun tidak ada yang bersedia dan sanggup diburu waktu, itulah yang membuatku akhirnya terpaksa nekat naik motor jauh-jauh dari Taktakan ke Ciracas untuk ganti pakaian dan langsung melesat ke Cilegon. Mengapa tidak besok saja atau lusa? Aku takut filmnya segera turun, hehe.

Aku tahu film Critical Eleven pasti ditujukan untuk penonton dewasa, 17 tahun ke atas. Aku sudah membaca novelnya dan memang permasalahan di cerita tersebut adalah masalah yang berat. Aku 22 tahun sekarang, dan seharusnya perempuan sepertiku bisa membeli tiket tanpa ditanya-tanya soal umur. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, dari awal si penjaga kasir yang kutafsir usianya tidak berbeda jauh denganku memang memandangku seperti anak kecil dan langsung melemparkan pertanyaan soal usia ketika aku bilang ingin menonton Critical Eleven. Seriously? Am I that young?

sumber


Judul: Critical Eleven
Genre: Drama Romantis
Sutradara: Monty Tiwa, Robert Ronny
Produser: Chand Parwez Servia, Robert Ronny
Skenario: Jenny Jusuf, Monty Tiwa, Robert Ronny, Ika Natassa
Perusahaan Produksi: Starvision Plus, Legacy Pictures
Distributor: Starvision Plus
Tanggal Rilis: 10 Mei 2017-06-12
Durasi: 135 Menit

Film ini berkisah tentang sepasang suami istri bernama Ale dan Anya dalam melalui masa-masa tersulit dalam pernikahan, yaitu kehilangan seorang anak sejak di dalam kandungan. Ale diceritakan sebagai pria romantis, dan dewasa. Ale adalah seorang petroleum engineer, pekerjaannya di rig mengharuskannya untuk jarang berada di rumah bersama istrinya. Sementara Anya digambarkan sebagai perempuan yang juga romantis, independen, pekerja keras, dan dewasa. Anya merupakan seorang konsultan keuangan di sebuah perusahaan ternama dan memiliki kesibukan yang padat.

Ah, why is it so hard to just stop comparing the movie with the book? But, i’ll try.

PENGENALAN

Pertemuan Ale dan Anya di pesawat diceritakan cukup manis, mereka duduk bersebelahan, dan membuka percakapan mereka dengan pemberian sapu tangan Ale untuk membersihkan air yang tumpah di pakaian Anya. Ada analogi yang diselipkan di situasi pertemuan mereka di pesawat, Critical Eleven. Critical Eleven merupakan istilah di dunia penerbangan, yaitu sebelas menit paling kritis di pesawat, tiga menit pertama setelah take off dan delapan menit sebelum landing, secara statistik, 80% kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang sebelas menit tersebut. Sama seperti pertemuan pertama dengan seseorang, tiga menit pertama merupakan momen yang penting karena saat itulah pembentukan kesan terjadi, dan delapan menit sebelum berpisah yang merupakan momen dimana kita bisa memutuskan apakah pertemuan tersebut akan memiliki kelanjutan atau justru menjadi perpisahan.

Dari pertemuan tersebut mereka akhirnya menjalin hubungan dan menikah. Awal pernikahan, latar film di New York, Anya diceritakan harus meninggalkan karirnya yang memang sudah berada di atas demi mengikuti sang suami yang bekerja di laut Meksiko. Beberapa saat kemudian akhirnya Anya hamil. Ditengah rasa bahagia yang menyelimuti mereka, Ale jadi sangat khawatir akan kondisi istrinya yang sering ia tinggalkan ke rig. Ale meminta Anya untuk pulang ke Indonesia karena di sana segalanya serba mudah dan ada banyak orang yang bisa membantu segala kesulitan yang mungkin bisa dihadapi Anya. Disinilah konflik dimulai. Anya yang dari awal sudah merelakan pekerjaannya di Indonesia, kemudian berjuang beradaptasi di kota New York yang keras hingga berhasil hidup mandiri dan mendapatkan pekerjaan di sana tidak rela jika tiba-tiba Ale memintanya untuk pulang ke Indonesia hanya karena mengkhawatirkan dirinya. Kekhawatiran Ale semakin menjadi ketika Anya jatuh tertabrak sepeda, saat itu Anya masih tetap berusaha untuk tetap tidak meninggalkan New York, katanya, “i love New York”, yang kemudian dibalas dengan, “More than Aidan”. Tersinggung karena kalimat tersebut membuat hubungan keduanya kurang baik, tapi pada akhirnya Anya mau dibujuk pulang ke Indonesia karena pertimbangan Ale mendapat pekerjaan di perusahaan Australia yang memiliki kilang minyak di laut Jawa.

PERMASALAHAN

Di Indonesia, masa kehamilan Anya berjalan dengan mulus, begitu juga dengan hubungan Ale dan Anya. Seminggu menjelang proses persalinan, Anya kehilangan bayinya di dalam kandungan. Saat itu adalah momen yang cukup berhasil membuat sedih para penonton sepertinya. Yang paling membuat penonton ikut merasakan kesedihan mereka adalah adegan dimana Anya menangis dan meminta pulang untuk istirahat. Disitu tergambar jelas penyesalan seorang ibu ketika kehilangan anaknya yang belum sempat dilahirkan. Adegan melahirkan pun sangat emosional, menahan sakit dalam proses melahirkan ditambah sesak di dada karena tahu dirinya hanya mengeluarkan bayi yang tidak bernyawa deperankan dengan sangat baik oleh Adinia Wirasti. Pasca melahirkan pun diceritakan dengan cukup baik dengan adanya adegan breast milk pumping yang semakin melengkapi dan memperkuat kondisi seorang wanita pasca melahirkan. Ini sepertinya merupakan perbaikan dari novelnya yang memang tidak fokus ke kondisi fisik pasca melahirkan, tapi malah hanya fokus ke permasalahan suami istri yang kehilangan anak. Selain harus menghadapi rasa bersalah pada diri sendiri karena kehilangan anak, Anya juga dihadapkan oleh blaming yang dijatuhkan Ale kepadanya. Ale bilang, “Seandainya kamu nggak terlalu sibuk, pasti kita nggak akan kehilangan Aidan.” Kalimat itulah yang akhirnya membuat hubungan mereka tidak harmonis.

Ada banyak usaha yang dilakukan Ale untuk meminta maaf, namun tetap tidak berhasil. Bahkan ayah, ibu, dan adik-adik Ale pun turut andil dalam proses memperbaiki hubungan mereka dengan memberikan nasehat-nasehat pada keduanya. Ada satu waktu dimana mereka hampir rujuk, namun akhirnya bertengkar lagi karena kata-kata. “Bagaimana aku bisa percaya, kamu bahkan nggak pernah masuk ke kamar Aidan.” Kata Anya. “Kamu nggak pernah ziarah ke makam Aidan.” Kata Ale. Sama seperti di novelnya, kata-katalah yang seringnya menjadi penyebab munculnya pertengkaran.

PENYELESAIAN

Di akhir cerita, Anya menerima tawaran untuk bekerja di Autralia mengurus suatu proyek perusahaan konsultannya. Anya yang tidak izin terlebih dahulu ke Ale lagi-lagi membuat Ale khawatir dan mencari Anya hingga kecelakaan mobil terjadi. Di rumah sakit, saat Anya menjenguk Ale, mereka akhirnya sadar bahwa mereka tidak bisa untuk tidak bersama. Mereka berusaha menerima keadaan dan berdamai.

Cukup dengan rangkuman ceritanya. Sekarang ke review yang sesungguhnya.

Aktor dan aktris yang memerankan Ale dan Anya yaitu Reza Rahadian dan Adinia Wirasti seperti biasa, berhasil mentransformasikan diri mereka ke dalam karakter yang mereka perankan. Wajar jika para penonton menaruh ekspektasi tinggi ketika tahu yang akan memerankan film ini adalah aktor dan aktris kondang sekelas mereka. Tapi ekspektasi tinggi itu menurutku sudah terbayar dengan akting mereka yang keren.

Kemudian masalah alur, film Critical Eleven memiliki alur maju yang rapih sehingga tidak membuat penonton bingung. Sudah cukup dengan permasalahan rumah tangga yang cukup berat dalam film ini, alur maju menurutku memang yang terbaik dan yang paling mudah untuk dicerna penonton.

Dialog yang cukup banyak menggunakan bahasa Inggris ini menarik menurutku untuk film Indonesia yang tokoh-tokohnya semuanya orang Indonesia. Percakapan bahasa Inggris diantara Ale dan Anya sangat cocok untuk mereka karena lingkungan kerja mereka (terutama Ale) memang  menggunakan bahasa Inggris. Dan lagi, it’s just me or everybody can feel it, Anya dan Ale sepertinya memang lebih keren jika mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dengan menggunakan bahasa Inggris. Kemudian ada beberapa dialog di adegan-adegan lain yang terdengar cheesy tapi masih oke karena tidak banyak.

Film ini memaparkan emosi yang naik turun kepada penonton. Memang hanya aktor dan aktris yang benar-benar jago yang bisa memainkan emosi yang beragam. Tapi aku kurang bisa menikmati setiap emosi film ini karena terlalu cepat berganti.

Sinematografinya keren, soundtracknya juga bagus. Kalau yang ini tidak ada kata “tapi”. Keren!

Overall, novel dan film memang punya keistimewaan masing-masing, tidak bisa dibanding-bandingkan. Salut dengan film ini karena walaupun agak membuatku kecewa karena ada banyak hal dalam novel yang diubah (hey, ini perasaan yang secara natural selalu menimpa para pembaca novel yang kemudian menonton film), tapi film tersebut juga merupakan perbaikan dari apa yang kurang di novel Critical Eleven, yang menurutku sangat berarti.


4 dari 5 bintang untuk Film Critical Eleven.

"Nya, waktu itu kamu pernah cerita kan kalau lagi presentasi tentang strategi ke klien, kamu selalu bilang begitu kita mulai sepakat untuk menjalankan suatu strategi, we have to bet everything in it, harus total, anggap kita sudah menyeberang jembatan kemudian jembatannya itu kita bakar. There's no turning back. There's no chickening out in the middle and go back. This is it. Aku ke kamu juga begitu, Nya. Dengan kamu, aku sudah bakar jembatannya, Nya. I've burned the bridges. There's no turning back. There's only going forward, with you. So marry me?" (Ika Natassa, 2015: 37-38).

Comments

  1. Mungkin mbak2 kasir nya lagi lelas karena puasa, kak.. Hehe

    Film yg bakalan dapat banyak penghargaan ini. Yakin.

    ReplyDelete
  2. lelah karena puasa atau emang aku yang awet muda? wkwk. Sepertinya begitu, tapi kita lihat saja nanti bakal dapat penghargaan sebanyak apa.

    ReplyDelete
  3. Hahahaha baru tahu ada orang yang ditanya umur pas beli tiket bioskop. ._.

    Eniwei, gue sampe sekarang belum nonton filmnya. Huhuuhu. Padahal termasuk yang baca novelnya kak Ika. \(w)/

    ReplyDelete
    Replies
    1. waduuuh kudu cepet2 nonton tuh. udah sebulan, tinggal di beberapa bioskop lagi.

      Delete
  4. Film gak mutu bgt, boring dan banyak mistakes audio visual nya, karakter gak kuat, cerita aneh, dialog terkesan maksain

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam