Kemarin Kamis, 26 Januari 2017 aku
dan temanku Muhtar main ke Gunung Pinang di Jalan Raya Serang-Cilegon, tepatnya
di Kramatwatu, Kabupaten Serang, tengah-tengah antara Kota Serang dan Cilegon.
Tiba-tiba saja Rabu kemarin sepulangku dari Bogor Muhtar mengajakku main,
karena aku penasaran sekali dengan spot foto Gunung Pinang yang sedang hits di
kalangan anak gaul Serang-Cilegon, akhirnya aku mengajaknya main ke sana.
That
was the first time we are going there. Aku baru tahu kalau kami harus beli
tiket dulu seharga Rp. 10.000,00 per orang untuk bisa naik ke puncak. But hey,
Rp. 10.000,00 is worth to buy! Begitu beberapa meter motor ini melaju ke puncak
yang cukup terjal, kami sudah merasakan sejuknya udara karena oksigen dari
pepohonan di sekitar kami. Sangat berbeda dari beberapa saat lalu saat kami
masih berada di jalan raya, panasnya Serang tiba-tiba diganti dengan sejuknya
udara di Gunung Pinang yang menyegarkan. Cukup jauh jika harus berjalan kaki ke
atas. Aku kira kami bisa cepat sampai ke spot foto yang kekinian itu tapi
ternyata Gunung Pinang yang terlihat kecil itu nyatanya cukup tinggi, untung
saja kami diperbolehkan membawa kendaraan hingga puncak, jadi tidak capek.
Ketika
sampai ke tempat foto yang kekinian itu, kami tidak lantas turun dari motor
begitu saja. Karena tempatnya ramai, kami lanjut naik motor lebih jauh lagi
hingga kantor Simpati dengan pemancar mereka yang dapat kami lihat dari jalan
raya tadi. Kami memarkir motor dekat gerbang kantor Simpati tersebut di sana
sudah ada mobil dari calon pengantin yang sedang melakukan sesi pemotretan
prewedding. Wow. Memang lokasi gunung Pinang yang dekat dengan perkotaan, dan
mudah diakses dengan pemandangan yang sangat indah membuat orang-orang tertarik
untuk berfoto bahkan mengabadikan momen sebelum pernikahan di sana.
Setelah
puas berfoto, kami turun menuju spot foto tadi. Beberapa foto kami ambil juga
di sana, tapi sayangnya kami tidak ke tempat berfotonya yang mirip rumah pohon
tapi tidak beratap (duh, ya semacam Kalibiru-nya Jogja itu lah atau Omah
Kayu-nya Malang) karena sudah terlanjur ilang feeling karena dikenakan biaya
selfie hehe. Akhirnya hanya berfoto di dekat pagar pembatas jurang.
Yang kumaksud spot foto kekinian itu yang dibelakang itu tuh, yang banyak orangnya. |
Dimaafkan fotonya blur. Kakak Muhtar masih amatir pegang kamera. |
Kami makan pop mie di tengah suasana Gunung Pinang yang asri, sedap banget lah pokoknya. Setelah itu kami turun dan menuju Pasar Lama untuk minum air kelapa muda.
By
the way karena aku tahu tempat wisata yang sekarang jadi semakin kekinian di
kalangan anak muda ini dari beberapa akun instagram yang menyajikan informasi
seputar Serang dan Banten, akhirnya aku eksplor lebih jauh lagi dengan googling informasi lebih lengkap tentang
Gunung Pinang dan aku menemukan kisah menarik legenda Gunung Pinang. Jadi
ternyata Gunung Pinang itu merupakan perahu yang terdampar.
Cerita
sedikit ya, selebihnya bisa googling sendiri.
Dahulu kala ada seorang pemuda
miskin bernama Dampu Awang yang tinggal bersama ibunya di pesisir pantai. Dampu
Awang merantau untuk mengubah nasibnya ke seberang, dan bekerja di tempat
seorang saudagar kaya di sana. Karena Dampu Awang adalah anak yang rajin,
akhirnya dia dijodohkan dengan anak sang saudagar dan mewarisi harta sang
saudagar. Beberapa tahun setelah menikah, Dampu Awang berdagang di Banten.
Berita tentang saudagar kaya yang akan datang ke Banten tersebar hingga telinga
ibu Dampu Awang. Di hari kedatangan sang anak, sang ibu berlari ke dekat
dermaga untuk melihat apakah saudagar tersebut adalah anaknya yang sudah
sukses, karena anaknya pernah berjanji akan kembali setelah sukses. Namun
karena penampilan sang ibu yang lusuh, Dampu Awang malu dan tidak mengakui
ibunya di depan orang-orang termasuk istrinya walaupun dalam hati kecilnya dia merindukan
ibunya dan menyadari bahwa perempuan lusuh itu adalah ibunya. Akhirnya Dampu
Awang mengusir ibunya sendiri dan tidak jadi berdagang di Banten. Saat
perahunya sudah berlayar, ibunya yang sudah terlanjur sakit hati berdoa kepada
Tuhan, “Jika dia bukan Dampu Awang biarkan saja dia pergi, namun jika dia
benar-benar Dampu Awang balaslah dia dengan balasan yang setimpal.” Akhirnya
perahu yang ditumpangi Dampu Awang tergulung ombak besar dan terdampar kemudian
dalam waktu sekejap menjadi batu dan menjadi Gunung Pinang yang sekarang.
Ceritanya mirip seperti cerita
Malin Kundang, kecuali soal perahu yang jadi gunung, itu mirip dengan Tangkuban
Perahu. Overall, bertambah lagi satu cerita dari Banten yang menarik.
Ternyata
ada banyak sekali tempat wisata asik dan murah di sekitar kita, tinggal
bagaimana kita mengeksplornya. Jangan lupa untuk cari tahu sejarahnya juga ya
untuk menambah pengetahuan baru.
Oh ya, sedikit masukan untuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten, Gunung Pinang menurutku merupakan tempat yang keren untuk wisata sekaligus sangat berharga karena merupakan salah satu sumber oksigen segar di Serang yang bisa dimanfaatkan masyarakat yang butuh hiburan murah meriah sekaligus menyehatkan. Alangkah lebih baik jika dilakukan perawatan maksimal terhadap beberapa fasilitasnya. Aku mendapati tembok dan gerbang masuk menuju Gunung Pinang sudah jelek dan sama sekali tidak merepresentasikan tempat wisata. Ada beberapa coretan tidak bermakna yang dapat merusak persepsi masyarakat yang akan masuk ke tempat wisata tersebut.
Temboknya dicoret-coret jadi bikin ilfeel orang-orang yang mau masuk kan. :( |
See
you on my next post! Xoxo.
Hai Annisa mau tanya dong, kalo foto di rumah pohonya atau mau selfie2 gitu kena biaya berapa ya?:)
ReplyDeletekalau nggak salah 5000. aku lupa sih, soalnya waktu itu aku nggak selfie di situ, udah males duluan karena bayar.
DeleteDari pintu masuk naik jalan kaki berapa lama , anisa?
ReplyDeletekalau jalan kaki santai bisa memakan waktu 20 sampai 30 menit
Delete