Bumi Manusia adalah salah satu
buku dari Tetralogi Buru karya salah satu penulis legenda Indonesia, Pramoedya
Ananta Toer. Bumi Manusia yang sudah berumur puluhan tahun ini akhirnya
dialihwahanakan menjadi sebuah karya sinematografi dan dipublikasikan secara
umum pada hari ini, 15 Agustus 2019. Senang sekali hari ini aku mendapat
kesempatan menonton film yang sudah kutunggu-tunggu ini. Buku fenomenal dan
bagus, inshaallah filmnya juga bagus, semoga, itu harapanku selama aku menunggu
film ini. So, here’s my review.
Poster Film Bumi Manusia
(sumber)
Judul: Bumi Manusia
Genre: Drama
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produksi: Falcon Pictures
Tanggal Rilis: 15 Agustus 2019
Baiklah, di sini aku akan
berusaha untuk gak membanding-bandingkan filmnya dengan bukunya, yang sudah
jelas berbeda dan punya kelebihan masing-masing, maklum, itu memang selalu jadi
kebiasaan pembaca sekaligus penonton kan.
Yang pertama, alurnya
maju-mundur. Film ini langsung memperkenalkan tokoh-tokoh utama pada adegan-adegan
awal sekaligus deskripsi kondisi alam, sosial, budaya, dan ekonomi pada masa
kolonial akhir abad 19. Dari menceritakan status Minke alias Raden Mas Tirto
Adhi Soerjo (Iqbaal Ramadhan), pengenalan keluarga Mellema, keluarga Jean
Marais, keluarga Minke, hingga sekolah Minke. Setiap peran punya cerita
masing-masing, dan film ini pun berusaha menampilkan semaksimal mungkin kisah
masing-masing tokoh penting, karena memang dari kisah-kisah merekalah seorang
Minke belajar, dan kisah-kisah itu jugalah yang membentuk keseluruhan Bumi
Manusia. Cerita masing-masing tokoh inilah yang menjadi alur mundur film ini, ada
adegan-adegan yang membawa kita ke masa lalu tokoh-tokohnya. Seperti cerita
Nyai Ontosoroh alias Sanikem (Ine Febriyanti) menjadi gundik (perempuan simpanan)
orang Belanda, cerita rahasia Annelies Mellema (Mawar Eva), dan cerita
perubahan sikap Herman Mellema. Penggambaran detail adegan-adegan flashback tokoh-tokoh
dari keluarga Mellema ini sudah tepat menurutku, karena film ini memang lebih
menyoroti keluarga tersebut, sedangkan kisah tokoh lainnya hanya sebatas dialog
(padahal aku suka sekali kisah masa lalu Jean Marais, tapi memang akan sangat
berlebihan jika itu juga dibuatkan adegan).
Selanjutnya karakter, penokohan,
dan akting. Karakternya tentu saja ada Minke, seorang pribumi pelajar di
sekolah Belanda yang haus akan ilmu pengetahuan dan pelajaran kehidupan.
Kemudian Nyai Ontosoroh yang merupakan perempuan pribumi belian yang dijadikan simpanan
orang Belanda, namun biarpun demikian Nyai adalah perempuan yang tangguh dan
cerdas luar biasa. Annelies, peranakan pribumi dan Belanda yang luar biasa
cantik namun karakternya sangat kompleks, rapuh dengan segala rahasianya yang
membuatnya dewasa sebelum waktunya tetapi masih meninggalkan sifat manja.
Robert Mellema, saudara kandung Annelies yang angkuh dan sangat membanggakan
darah Belandanya dan membenci segala hal tentang pribumi walau ibunya sendiri
merupakan pribumi. Herman Mellema, suami tidak sah dari Nyai Ontosoroh, seorang
Belanda yang baik namun hidupnya jadi gak karuan dan gak berguna setelah satu
kejadian. Jean Marais, seorang bijak dengan segala pengalaman dan ilmu yang
senantiasa dibagi kepada Minke, dia juga pelukis dan desainer meubel andal asal
Perancis. Robert Suurhof, teman Minke di sekolah yang menjadi jembatan antara
Minke dan keluarga Mellema. Dan karakter pendukung lainnya yang sama
pentingnya. Semuanya pasti sudah berusaha maksimal di film ini. Favoritku adalah
Nyai Ontosoroh, dan tokoh tersebut menurutku berhasil diperankan dengan baik
oleh Ine Febriyanti, ketegasannya, kecerdasannya, sifat dendam, dan pasrahnya
sangat bagus dan menjiwai. Mawar Eva kurang greget apalagi pada bagian saat
Annelies menceritakan rahasianya kepada Minke, seharusnya adegan itu bisa jadi
sangat menyedihkan sekaligus membuat kesal, dan miris tapi malah jadi hanya
sekedar kesal saja. Iqbaal Ramadhan cukup berhasil menepis tanggapan negatif
netizen tentang perannya sebagai Minke, walaupun di beberapa adegan aku rasa
agak berlebihan ekspresi dan gerak tubuhnya, mungkin kurang rileks atau gimana
aku gak tahu. Selebihnya semua pemeran bule kaku banget, terlepas dari (mungkin)
mereka baru belajar berbahasa Indonesia, tapi harusnya kan kalau sedang bicara
bahasa Belanda kata-katanya bisa mengalir, tapi ternyata tetap kaku, termasuk Magda
Peters, guru Minke. Tapi Jean Marais oke sih. Dan kurangnya figuran para
pelacur Baba Ah Tjong yang berwajah Tiongkok jadi agak kurang detail, yang
muncul dan disorot cukup lama malah yang berwajah Indonesia banget, Maiko juga
terlalu kaku dan dibuat-buat. Pokoknya secara keseluruhan soal keluwesan para
pemeran karakter Bumi Manusia aku anggap kurang greget, kecuali Nyai Ontosoroh.
Dialog dan narasinya didominasi oleh bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Ada sedikit bahasa Jawa, Madura, dan Perancis. Sangat detail sesuai dengan penggambaran dalam bukunya. Ada beberapa line yang sebenarnya sangat worthed disisipkan dalam dialog di film, sayang sekali gak disisipkan. Seperti waktu di tempat kuda, akan lebih oke kalau Minke gak cuma memuji Annelies, dan Annelies gak cuma tersipu mendengar pujian tersebut, kenapa gak ada salah satu kutipan favorit kami semua, “... kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, kata Mama, sekali pun dia hanya seekor kuda.” (Toer, 2019:50)?
Salah satu adegan dalam film Bumi Manusia
(sumber)
Kemudian yang terakhir pendapatku
soal perintilan pelengkap. Properti yang digunakan sangat detail dan dapat
memberi gambaran kondisi pada masa itu. Aku suka sekali rumah-rumah, cafe,
sekolah, dan kantor-kantor yang menjadi latar tempat, begitu juga dengan perabotan
yang digunakan. Walaupun sesungguhnya bagus jika barang-barangnya terlihat baru
dan bersih, tapi akan lebih natural lagi jika catnya (misal cat beberapa rumah, atau
tangga di rumah Mevrouw dan Meneer tempat Minke menginap itu) diedit agak lusuh dikit gitu biar gak
kelihatan cat baru banget, biar lebih natural hahaha penting gak penting sih
ini, tapi ya gituuu kalau aku lihat film-film luar negeri ya begitu, bisa alami
banget gitu loh gak terlihat studio banget. Pakaian-pakaian mereka sangat indah, semuanya, dari kebaya,
gaun, setelan jas ala Eropa, sampai kain jarik yang dijadikan kemben
orang-orang desa. Kendaraan-kendaraannya juga sangat zaman dulu. Yah detailnya
benar-benar total sih.
Overall, this movie is very
recommended for those who are 17 years and above. Sangat sarat akan sejarah dan
nilai-nilai kehidupan manusia terutama mereka yang hidup di akhir abad 19
hingga awal abad 20. Dengan menonton film ini, kita sebagai anak muda pasti
akan merasa sangat beruntung hidup di masa kini yang segala sesuatunya serba
mudah, mungkin bisa jadi hingga tahap malu karena kurang gigih berjuang di
kehidupan walaupun sudah dibantu dengan teknologi ini-itu.
“... Seorang terpelajar harus
juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
(Toer, 2019:77)
Entah ini aku jadi kespoiler atau malah bisa jadi pegangan buat lebih mudah memahami alurnya saat nonton bumi manusia nanti.
ReplyDeleteMasih juga hari perdana udah keluar aja reviewnya :(
Hehe biar seru dan fresh banget dong review di hari pertama. Kalau nonton di hari pertama, sebisa mungkin aku bikin reviewnya dan posting hari itu juga biar update dan lebih banyak yang baca.
DeleteBelum nonton film ini tapi sebenernya dari awal udah excited bgt sih..
ReplyDelete-Traveler Paruh Waktu