So last night i have such random thought about to share my experience
and thoghts about insecurities which i think everyone has it, even someone who
seems so strong and insensitive like there is nothing in his/her life that ever
gone wrong has insecurities.
Sepengetahuanku dari nonton
video, dengar podcast, dan mencari
tahu di internet tentang “kekhawatiran” dan “ketidaknyamanan” yang familiar
disebut insecurity, adalah perasaan
gak nyaman yang menghantui seseorang karena berbagai alasan. Bisa karena social anxiety (kecemasan sosial) yang
berujung pada menurunnya kepercayaan diri, bisa karena kegagalan dan penolakan
yang juga berujung pada menurunnya kepercayaan diri, bisa juga karena sifat
terlalu perfectionist yang membuat
seseorang terlalu takut dan terlalu berhati-hati. Mungkin ada lebih banyak hal
yang bisa membuat seseorang khawatir dan gak nyaman.
Ketidaknyamanan dan ketakutan ini
sangat familiar di hidup kita, terutama pada kita yang menginjak masa remaja
hingga dewasa muda dimana di usia itu adalah saat dimana kita sudah mulai
peduli dengan diri kita walaupun kita masih belajar untuk lebih memperhatikan
diri. Dan cara kita memperhatikan atau melihat diri kita itu kebanyakan masih berdasarkan
kacamata orang lain atau pengalaman kita yang sedikit sehingga kita masih belum
bisa bijak untuk menyaring mana yang patut didengar atau dipelajari atau
diperbaiki, dan mana yang seharusnya gak perlu kita dengar dan pikirkan.
Biar ada fotonya aja |
Oke, pengalaman melihat
lingkungan yang penuh ketakutan dan ketidaknyamanan hingga pada akhirnya
merasakan sendiri ketidaknyamanan tersebut sudah berlangsung kira-kira sejak
aku menginjak masa kuliah. Kebanyakan teman-teman khawatir soal body image, and appearance, dan beberapa
soal sifat dan karakter serta masa depan.
Pernah ada suatu masa aku
berteman dengan seseorang yang sangat insecure
tentang penampilannya. Tiap hari yang dia bicarakan hanya soal penampilannya
berdasarkan semua yang dia kenakan, bagusan pakai baju ini atau itu, bagusan
pakai lipstik ini atau itu, bedak ini atau itu, kata orang dia jalannya aneh,
kata orang dia gendutan, dan sebagainya, dan yang lebih parah dari kekhawatirannya
adalah bahwa dia mulai gak menghargai apa yang sudah dibawa sejak lahir yang
sifatnya natural, semuanya dinilai berdasarkan kebendaan atau faktor lain dari
luar, misal kayak dia cantik karena make up, orang lain keren karena bajunya
(ini sudah menjatuhkan orang lain, entah tujuannya apa, maybe to make her feel better or just don’t want anyone feel good about
themselves), dan sebagainya. Awalnya aku sabar, tapi lama-lama aku sudah gak
bisa menghiraukan lagi semua keluhan-keluhannya karena sampai sekarang orangnya
masih seperti itu, sedikit-sedikit takut dan khawatir soal penilaian orang, dan
sulit untuk diubah, sekeras apapun aku dan yang lain untuk menenangkan
kekhawatirannya. Mungkin hanya waktu dan rasa lelah yang bisa menghentikan
perasaan itu.
Ada lagi cerita unik, pernah ada seorang
teman yang entah sengaja atau gak dia bilang bahwa aku pengidap anorexic di
depan teman-teman yang lain dan kebetulan ada pengajar juga di situ. Aku gak
marah, cuma sedikit malu karena semua orang jadi memperhatikanku dan aku yang
introvert garis keras ini gak pernah suka jadi pusat perhatian. Tapi lucunya,
walaupun orang-orang tiba-tiba memandangku, mereka diam-diam berbisik “parah banget”, “gitu banget” ke temanku yang melontarkan fitnah tersebut. Aku merasa
sedikit lega ternyata semua orang di kelas sudah cukup pintar untuk gak ikutan
menghina atau mengasihani setelah kejadian itu. Bohong kalau aku bilang bahwa
aku baik-baik saja walaupun aku sempat merasa lega, aku kesal juga setelahnya, but what can i do and what can i say? Aku
bisa cepat move on dan gak perlu
bereaksi berlebihan karena i stop hating
my body since long time ago, soal body
image and appearance udah gak jadi perhatianku lagi, walaupun aku tetap
menjaga dan memperbaiki apa yang sudah diberikan Tuhan. Jadi kubiarkan saja
orang-orang itu lelah sendiri karena aku gak kunjung bereaksi. Tapi pada beberapa
kesempatan lain, temanku ini bercerita kepadaku tentang bagaimana dia khawatir
dan bahkan sempat membenci dirinya yang memiliki fisik seperti yang dia miliki,
hingga pada puncaknya dia pernah bercerita bahwa orang-orang di lingkungannya (keluarga
dan teman) telah membuat dia membenci fisiknya sampai dia berkali-kali berusaha
memperbaikinya walau gak kunjung berhasil. Dan sebagai orang biasa yang
berusaha bersikap baik, aku hanya bisa mendengarkan walaupun dalam hati rasanya
ironi sekali, aku ingin tertawa tapi kasihan, ingin kasihan tapi ingin tertawa.
Bagaimana bisa seorang yang terlihat kuat dan gak sensitif seolah dia manusia yang
gak pernah punya masalah, ternyata menyimpan luka bahkan kebencian pada dirinya
sendiri.
Ada juga seorang teman yang sering kudapati membanding-bandingkan teman-teman lainnya dengan saudara-saudara mereka masing-masing. Aku pun pernah kena penilaian asal darinya, katanya aku gak secantik dan sepintar adik-adikku yang ada di foto di instagramku, ya, dia hanya tahu adik-adikku dan saudara dari teman-temanku yang lain dari sebatas foto dan cerita kami soal saudara-saudara kami. Pernah pada puncaknya aku agak kesal, sampai aku tanya, “Kenapa sih, gatel banget banding-bandingin gue dan saudara-saudara gue? Si A juga lo bandingin, si B juga. Lo sering dibanding-bandingin sama saudara-saudara lo di rumah?” Dan jawabannya gak bikin kaget sama sekali, katanya, “Iya, anjir, gue sering dibanding-bandingin sama kakak-kakak gue.” Benar saja, Insecurity bisa juga terjadi karena tekanan sosial/kecemasan sosial, dia yang sering dibanding-bandingkan akan cenderung membanding-bandingkan orang lain juga, again, to make them feel better, or seeking for some friends who are in the same boat.
Ada juga seorang teman yang sering kudapati membanding-bandingkan teman-teman lainnya dengan saudara-saudara mereka masing-masing. Aku pun pernah kena penilaian asal darinya, katanya aku gak secantik dan sepintar adik-adikku yang ada di foto di instagramku, ya, dia hanya tahu adik-adikku dan saudara dari teman-temanku yang lain dari sebatas foto dan cerita kami soal saudara-saudara kami. Pernah pada puncaknya aku agak kesal, sampai aku tanya, “Kenapa sih, gatel banget banding-bandingin gue dan saudara-saudara gue? Si A juga lo bandingin, si B juga. Lo sering dibanding-bandingin sama saudara-saudara lo di rumah?” Dan jawabannya gak bikin kaget sama sekali, katanya, “Iya, anjir, gue sering dibanding-bandingin sama kakak-kakak gue.” Benar saja, Insecurity bisa juga terjadi karena tekanan sosial/kecemasan sosial, dia yang sering dibanding-bandingkan akan cenderung membanding-bandingkan orang lain juga, again, to make them feel better, or seeking for some friends who are in the same boat.
Selain soal tubuh dan penampilan,
ada lagi ketidaknyamanan karena punya sifat/karakter tertentu. Untuk yang satu
ini aku merasakannya dan itu cukup menyiksa pikiranku. Dari kecil aku sadar
bahwa aku gak cukup pintar bergaul, berinteraksi, berkegiatan sosial, apalagi
menarik perhatian orang. Mending di rumah daripada main ke luar, punya
segelintir teman rasanya sudah cukup dan puas. Tapi gak dengan apa yang ada di
kepala orang-orang di sekitarku termasuk orang tuaku. Kalimat “harus lebih
terbuka”, “jadi orang harus asik”, dan sebagainya seolah membenarkan bahwa
dunia ini tercipta hanya untuk orang-orang yang pintar bersosialisasi, karena dibanding
orang-orang sejenisku, mereka akan lebih mudah diterima orang lain. Ini jadi
terasa makin sulit ketika aku memasuki jurusan Ilmu Komunikasi dimana
lingkungan dipenuhi orang-orang supel dan gaul. Mama pernah bilang aku gak
cocok di situ, dan itu terus menghantui dan membuat aku merasa salah karena
jurusan dan profesi masa depan itu gak sesuai dengan karakter diri, yang
mungkin akan membuatku harus berusaha lebih keras dibandingkan orang lain yang
sudah didukung dengan karakter supel dan asik. Aku pernah bertanya ke dosenku,
apakah seorang introvert cocok untuk berkuliah Ilmu Komunikasi, sementara karakter
tersebut bukan karakter yang mendukung persyaratan profesi yang berhubungan
dengan ko-mu-ni-ka-si-thing? Dan jawabannya sangat sederhana, katanya, “bisa
mencoba lebih terbuka”. Bagaimana bisa sementara untuk terbuka saja orang-orang
sepertiku harus mengeluarkan energi yang lebih besar. Pada beberapa titik, aku
merasa sifat dan karakterku ini benar-benar mempersulit kehidupanku, apalagi
didukung dengan persyaratan hidup untuk harus pintar ngomong, jadi asik dengan
orang lain, dan sebagainya yang membuat seolah karakter introvert adalah
kelemahan. Aku bukan anti sosial, aku bukan pemalu yang sama sekali gak
berani untuk keluar rumah atau ngomong. Tapi
sedih sekali ketika untuk menjadi nyaman dengan tetap berkarakter seperti ini
saja gak bisa karena dunia menuntut untuk gak seperti ini. Jujur, sampai
sekarang, sebesar apapun usahaku untuk lebih terbuka, lebih profesional dengan
pekerjaanku yang sangat sosial ini, aku selalu dihantui rasa takut salah bicara
dan bertingkah karena mindset bahwa im
not good enough to make friends and socialize and so on itu terus
mengikuti. Dan seperti orang-orang insecure
lainnya, yang cenderung meremehkan orang lain untuk merasa lebih baik, aku juga
begitu, aku merasa orang-orang lebih mudah dalam pekerjaan mereka dan lebih
disukai orang karena mereka sudah membawa sifat dan karakter bawaan lahir yang
ramai, asik, dan supel. Padahal sebenarnya itu bisa dilatih.
At the end, we are all strugling with our own insecurities. We can make
ourselves better by accepting our flaws and keep improving ourselves eventhough
it is hard i know. And most importantly which we always forget, that we can
help each other to feel good so that we can more easily accept ourselves, because
actually insecurities mostly caused by what other people say about ourselves, so why don’t we just keep our mouth shut unless we can say something
nice.
See you on my next post!
Kalau aku yang sampai saat ini masih menghantui itu terlalu berhati-hati dalam hal akan memulai sesuai baru. Ketakutan atau kehati-hatian yang berlebih itu selalu saja muncul disetiap aku memulai hal yang baru akan aku mulai tsb. Mungkin karena aku pernah kehilangan hal tsb kali ya, tapi aku gak tau pastinya.
ReplyDeleteSuka caption fotonya hehee. Maaf oot hehe.
ReplyDeleteeniwei, gimana kalo kita jalani dengan apa adanya saja. Kita menerima perbedaan sekitar kita
Tidak dipungkiri, setiap orang memiliki ketakutan masing-masing. Cara menghadapinya pun beragam. Beberapa orang memilih memndamnya sendiri, beberapa yang lain justru menularkannya ke orang lain.
ReplyDelete“harus lebih terbuka”, “jadi orang harus asik” nggak lah, aku lebih suka menjadi karakter yang aneh daripada 2 itu, wkwkwk
ReplyDeletehahaha tapi kenyataannya kebanyakan orang sulit menerima orang yang kurang gaul, gak asik, diem2 bae kayak gini apalagi lingkungan ilkom, yang tadinya merasa nyaman-nyaman aja jadi diri sendiri yang aneh, jadi merasa ada yang salah karena BANYAK orang yang bilang itu salah dan anak sosial shouldn't be like this. secuek-cueknya kita, pasti lama2 notice juga kalau banyak orang yang sulit nerima.
DeleteSaya rasa setiap orang pasti punya rasa insecurity di dalam diri. Tapi masing-masing bisa jadi berbeda kadar dan penyebabnya. Kalau saya dulu pernah jerawatan parah, dan selalu merasa setiap yang melihat saya seolah memandang dengan jijik. Untungnya pelan-pelan rasa itu hilang karena saya memilih fokus dengan orang-orang terdekat yang memang menerima saya ap adanya sampai jerawat sembuh semua.
ReplyDeleteWell,
ReplyDeleteMenurutku ya ..., berdamailah dengan pikiran diri sendiri, kak.
Dan yakin,tak ada satupun manusia yang luput dari cela.
Abaikan juga nyinyiran mulut orang 😉
Hidup kalo kerjaannya dengerin omongan orang mah capek mbak yang ada. Jadi diri sendiri aja. Bersyukur lah dengan apa yang Tuhan berikan pada kita. Karena setiap orang pasti memiliki kelebihan yang gak dimiliki oleh orang lain. Yakin itu. Pede aja kalo jadi orang.
ReplyDeletePerihal berat badan itu beberapa kali pernah mengganggu saya. Saking kurusnya di mata orang lain, dianggap kagak makan atau cacingan. Wahaha. Lama-lama biasa aja setelah berdamai sama diri sendiri.
ReplyDeleteKecemasan ketika menciptakan sesuatu karena takut dibilang jelek. Misalnya, seremeh saat bikin tulisan di blog. Solusinya: cuma memulai dan menyelesaikannya tanpa peduli nanti ada yang baca atau enggak.
Itu juga sih yang sering mereka katakan ke aku karena aku terlalu kurus, bahkan orang tua aku pun sering bilang gitu, sampai-sampai jatohnya malah body shaming karena mereka gak ngasih solusi apapun biar agak gendutan, but i get used, aku emang begini, itu juga udah lama terjadi yaudah, fokus aku sekarang udah bukan ke tubuh atau hal-hal fisik---tapi masih tetep jaga kerapihan, kesehatan, dan penampilan aja sih---tapi udah lebih ke hal yang lebih besar dan dalam dan lebih ngaruh ke kehidupan sosial aku, seperti lebih ke sifat. That's why aku beberapa tahun belakangan ini ketakutan dan merasa salah soal karakter aku sendiri, mengingat posisiku sebagai anak ilkom, punya pekerjaan yang sedikit banyak butuh socialize.
DeleteUntuk org yg cenderung introvert, sprtinya prmasalahan kita gak jauh2 sih. Suka ngerasa gak nyaman di dpn org bnyak. Apalagi jd pusat prhatian. Soal waktu dan nyaman sm org trsebut yg bkin gue baru bisa ngeluarin sifat asli alias terbuka, gak ada yg tertutup sama skali. Gesrek ya gesrek aja, jd diri sndiri di dpn org2 yg udh bkin kita nyaman trsbut. Tp ttep kalo di lingkungan baru agak jaim gmn yaa. Tkut salah ngomong, dan kbnyakan mikir drpda actionnya :')
ReplyDeleteYak, solusi untuk diam dan gak nanggepin ketika org mengomentari kita tntang ssuatu yg gak spenuhnya dia ketahui tentang kita... Gue rasa itu emg yg terbaik sih. Drpda kita respon ujung2nya malah kita sndiri yg capek bacotin, mending dia aja yg bacot sndiri biar capek. Haha. Malez kluar energi banyak2 emg ya wkwkw
Tulisan mu bagus sekali. I appreciate that. Nice :)
ReplyDelete