7 September hingga 13 Oktober 2018 kemarin
aku menghabiskan waktu di luar kota, belajar di Kampung Inggris Pare sekaligus
mudik ke Surabaya dan Tulungagung, berhubung lebaran lalu aku gak mudik. Ada
banyak cerita yang ingin kubagi, mungkin ceritaku selama sebulan itu akan
kubagi menjadi beberapa bagian.
Yang pertama adalah cerita mudikku
ke Surabaya---tempat Yangti (ibu dari papa) tinggal. Sebagian besar keluarga
papa juga ada di sana, jadi hampir setiap lebaran Surabaya selalu jadi tujuan
kami.
Aku berangkat dari Serang hari
Kamis, 6 September, naik kereta dari Serang ke Rangkasbitung, kemudian naik KRL
ke Tanah Abang, dan lanjut naik grab car ke Gambir. Waktunya mepet, aku sampai
15 menit sebelum kereta eksekutif Bima datang. Keretanya enak banget, nyaman,
belakangan aku memang jarang naik kereta mahal gak seperti waktu kecil dulu hehe
karena keluarga makin ke sini makin banyak pengeluaran, jadi begitu papa membelikan
tiket kereta eksekutif, aku bahagia.
Aku sampai Jumat pagi di Stasiun
Gubeng dan dijemput adikku yang kuliah di UNAIR dan numpang menginap di
rumahnya selama 2 hari sebelum aku berangkat ke Pare. Hari pertama kuhabiskan
dengan istirahat dan jalan-jalan ke beberapa tempat di Surabaya sendiri karena
adikku harus kuliah dan mempersiapkan penampilan dengan grup musik gamelannya
hingga malam. Terimakasih kepada layanan transportasi online yang sangat berguna untuk orang yang takut pergi kemana-mana
dengan angkutan umum karena takut terlewat atau dibawa keliling gak jelas.
Destinasi pertamaku adalah Museum
Surabaya yang terletak di Gedung Siola di persimpangan Jalan Tunjungan dan
jalan Genteng Kali. Aku baru browsing soal Museum Surabaya ini hanya beberapa
saat setelah aku memutuskan untuk keluar kamar kost adikku karena aku mulai
merasa bosan, ternyata pergi mendadak memang lebih asik dan penuh kejutan.
Gedung Siola sendiri adalah gedung tua yang sudah dibangun sejak zaman Belanda
dan berkali-kali jatuh kepemilikan karena banyak faktor. Terakhir gedung ini
dijadikan museum yang menyimpan berbagai koleksi sejarah Kota Surabaya mulai
walikota dari yang pertama hingga saat ini, koleksi peralatan pembangunan,
peralatan perkantoran, alat-alat rumah sakit, hingga koleksi seni seperti
berbagai jenis wayang, piano tua, dan sebagainya. Untuk belajar di museum ini
tidak dikenakan biaya masuk, jadi sangat cocok untuk wisata edukasi murah. Oh
ya, karena museum ini menyatu dengan Mal Pelayanan Publik, tempat pelayanan
satu atap dimana masyarakat Surabaya bisa mendapatkan berbagai pelayanan dari
pemerintah, jadi pintu masuknya (pada saat itu) bergabung dengan pintu masuk
Mal Pelayanan Publik tersebut, makannya aku agak bingung.
Setelah itu, aku memutuskan untuk
berjalan kaki menyusuri Jalan Tunjungan yang fenomenal itu. Aku melalui
berbagai bangunan-bangunan tua yang masih berfungsi sebagai toko-toko, kemudian
melewati Hotel Majapahit (dulunya Hotel Oranje, kemudian Hotel Yamato, kemudian
Hotel Hoteru) yang jadi saksi sejarah perobekan bendera Belanda menjadi bendera
Merah-Putih Indonesia oleh arek-arek Suroboyo pada 19 September 1945 (sumber).
Kemudian aku mampir ke Tunjungan Plaza 4, 5, 6 kalau tidak salah. Mallnya
sangat besar dan lengkap tapi aku hampir gak membeli apa-apa karena harus
berhemat untuk hidup di Pare nantinya. Mall ini juga salah satu destinasi
belanja terlengkap di Surabaya.
Jalan Tunjungan menuju Tunjungan Plaza |
Hotel Majapahit |
Depot Bu Rudy, Jalan Dharmahusada. |
Nasi Bakar Tuna yang maknyusss ditambah sambal bawang Bu Rudy jadi makin endeusss. |
Ini dia penampakan sambal paling hits oleh-oleh khas Surabaya. Harganya berkisar antara 23,000 hingga 26,000 tergantung jenis sambalnya. |
Salah satu ruangan di Kapal Selam Senopati yang memuat foto-foto para kapten kapal selam. |
Ruang Komunikasi kapal selam. |
Affogato Coffee Ice Cream. Gimana? Fotonya lumayan instagramable kan? |
Sorenya aku dijemput adikku dan main
ke rumah Eyang sampai malam, kemudian kami kembali ke kost adikku lalu mendapat
kabar bahwa keluarga Tulungagung (keluarga mama) batal ke Surabaya malam ini (untuk
tujuan kondangan ke kerabat Surabaya) karena mobilnya mogok di Kediri sehingga
hotel yang sudah dipesan oleh Bulik yang tinggal di Surabaya kosong, sehingga
aku dan adikku diminta untuk tidur di hotel semalam daripada sayang, kebetulan
hotelnya dekat rumah Eyang. Hehe lumayan bisa tidur dengan nyaman di kasur yang
lebar.
Sabtu pagi kami diajak Bulikku
dan keluarganya untuk makan di Depot Bu Rudy yang sambalnya sangat fenomenal
itu. Aku memesan nasi bakar tuna yang disajikan di dalam daun pisang dan rasanya
enak banget walau terlalu asin untukku. Menu-menu lainnya seperti menu restoran
Indonesia pada umumnya, ayam penyet, ayam bakar, goreng, pepes, berbagai olahan
ikan dan makanan laut lainnya, aneka sayuran, dan tidak lupa aneka sambal Bu
Rudy yang tersaji di atas meja. Ini pertama kalinya aku makan di tempat makan
terkenal itu setelah hampir setiap tahun selalu ke Surabaya, hmm kemana aja aku
selama ini. Belum ke Surabaya namanya kalau belum mencoba sambal Bu Rudy yang
endeusss.
Setelah perut kenyang hati
senang, aku kembali ke kost untuk membereskan barang-barang dan merencanakan akan
main kemana. Rencana sih rencana, tapi ujung-ujungnya malah bingung mau kemana
karena jarak dan waktu yang mepet karena adikku harus latihan gamelan lagi sore
harinya. Jadilah kami hanya makan di cafe yang ramai dan cukup populer di
kalangan anak muda tapi menurutku rasa makanannya biasa aja. Kemudian adikku
mengantarku ke Tunjungan Plaza lagi, katanya daripada bingung. Yowis, aku
keliling TP sampai bosan, dan sore menjelang maghrib aku baru meluncur ke
Monumen Kapal Selam Senopati yang terletak di jalan Pemuda. Dulu waktu kecil
aku pernah ke sini dan kondisi di dalam kapalnya masih bagus, sekarang juga
masih bagus tapi tidak sebaik dulu. Harga tiket masuk 15,000 rupiah, cukup mahal
tapi pantas untuk merasakan pengalaman naik kapal selam dan tahu seperti apa
ruang-ruang di dalam kapal selam. Sayang sekali gak ada tour guide-nya, aku juga lupa gak nanya mba-mba tiketnya soal tour guide. Apa mungkin karena sudah malam jadi gak ada pemandunya, seingatku dulu waktu aku SD, saat berkunjung ke Monumen Kapal Selam, ada bapak-bapak yang menjelaskan pada kami soal kapal selam ini.
Setelah itu aku sempat mampir ke Plaza Surabaya untuk bernostalgia karena waktu kecil aku pernah ke tempat itu. Letak Plaza Surabaya bersebelahan dengan Monumen Kapal Selam, jadi cukup berjalan kaki beberapa meter saja.
Setelah itu aku naik ojek online
lagi ke Grande Zangrandi, tempat makan es krim legendaris di Surabaya yang gak
boleh dilewatkan pelancong. Sebenarnya Grande Zangrandi ini adalah cafe baru
dari Zangrandi yang letaknya di jalan Yos Sudarso. Grande Zangrandi terletak di
jalan Dharmahusada, tempatnya lebih kekinian namun menu es krimnya sama seperti
di Zangrandi Yos Sudarso. Harganya sekitar 20,000-50,000 rupiah, cukup mahal
untuk beberapa skop es krim, tapi gak akan kecewa karena rasa es krimnya
berbeda dari es krim biasa, seperti ada rasa rempah-rempahnya (kalau di lidahku
sih). Saat itu aku memesan Affogato Coffee Ice Cream seharga 36,000 belum
termasuk pajak. Es krim ini disajikan dengan menuangkan kopi hitam panas di
atasnya, unik banget. Oh ya, aku sempat cari tahu soal Zangrandi, ternyata
Zangrandi adalah kedai es krim pertama di Indonesia yang mulai dibuka tahun
1930an oleh orang Italia (sumber).
Minggu paginya aku berangkat ke
Pare ditemani Bulik dan Eyang.
Itu dia cerita jalan-jalanku
selama di Surabaya. Semoga bisa kembali lagi ke sana dan mampir ke
tempat-tempat seru lainnya. Btw, mohon maaf kalau gambar kurang jelas karena semua foto diambil seadanya dengan kamera handphone hehe.
See you on my next post!
Bacanya tengah malem jadi laper gara gara nasi bakar tuna nya hehehe.
ReplyDelete