Baper. Bawa Perasaan. Istilah
kekinian ini udah hits kira-kira setahun yang lalu, mungkin lebih. Iya, udah
banyak banget yang membuat tulisan atau status di sosmed tentang Baper, tapi
nggak ada salahnya kalau gue juga ikut nulis tentang ini karena gue juga pernah
dibilang Baper oleh orang lain dan gue nggak suka itu.
Banyak
banget gue temukan keluhan-keluhan tentang kekesalan-kekesalan beberapa orang akan
istilah ini, yang malah menurut beberapa orang tersebut jadi pembelaan oleh
mereka yang nggak mau disalahkan atas tindakan atau candaan atau omongan yang
menyakiti orang lain.
“Ah lo mah baperan.” Itu kalimat yang
sering banget gue denger di sekitar gue, yang biasanya dilontarkan oleh
orang-orang yang udah bikin orang lain sakit hati.
Kalau
dari yang gue amati, mereka, orang-orang yang menyakiti sebenarnya sadar kalau
dirinya salah. Tapi nggak mau disalahkan, akhirnya ngebuat ngambeknya orang
lain sebagai bahan bercandaan. Dibilang Baper. Entah untuk mencairkan suasana,
entah untuk mengalihkan pembicaraan, atau untuk menyetir si dia yang ngambek
supaya nggak ngambek lagi. Motif orang beda-beda.
Menurut
gue ini parah. Sudah cukup orang itu sakit hati, eh malah tambah dibercandain.
Sejak
awal gue denger salah satu temen gue ngomong, “Baper banget sih lo!” ke temen gue yang lain, gue langsung panas.
Emang gue nggak punya masalah sama sekali dengan kedua temen gue itu, tapi
menyaksikan orang yang udah kesel tambah dibercandain itu nggak enak. Gue sering
ngebayangin kalau gue diperlakukan seperti itu juga. Apakah nggak akan terima
atau mungkin malah menerima karena alasan dia masih temen gue, atau dia udah
cukup mencairkan suasana, atau sekedar karena nggak mau dicap Baperan.
Akhirnya
apa yang sering gue bayangin itu jadi kenyataan. Suatu hari gue dibuat kesal
dengan temen gue. Dan mereka bilang, “Biasa
aja jangan lebay, jangan baper.”
Gue
nggak membalas. Nggak memperpanjang. Takut malah nggak selesai-selesai. Cukup
tahu aja kalau apa yang dikeluhkan beberapa orang tentang istilah Baper ini
memang benar-benar bikin kesal.
Dulu
budaya memaafkan, saling menghargai perasaan benar-benar terjaga. Tapi
sekarang, nggak ada kata maaf kecuali, “Ya
elah, gitu aja Baper.” Dan masalah pun terpaksa harus selesai, meninggalkan
luka di hati dan memori di otak yang nggak akan hilang karena belum dihapus
dengan satu kata magis, maaf.
Kalau
terbiasa begini terus, orang-orang jadi semakin berat untuk mengucap kata maaf,
jadi semakin sulit untuk belajar bertanggungjawab atas kesalahan mereka.
Orang-orang yang disakiti pun jadi semakin malas untuk memaafkan dan melupakan,
yang paling parah malah jadi dendam.
Cheers! :)
Comments
Post a Comment