Skip to main content

Kata Baper; Kata Sifat, Kata Kerja

Di postingan sebelumnya, gue juga udah bahas tentang Baper. Bawa Perasaan. Tapi gue belum puas, karena fenomena yang kedengarannya remeh-temeh ini sebenarnya berdampak besar untuk orang banyak dan malah mempengaruhi emosi orang-orang. Mempengaruhi emosi orang-orang, maksudnya? Iya, seperti di postingan sebelumnya, gue bahas orang-orang yang terpaksa menyudahi percekcokan atau kekesalan karena dibilang Baper. Orang-orang jadi memaksa dirinya untuk berhenti kesal, berhenti ngambek, tanpa menerima kata maaf karena dibilang Baper.

Kata Baper udah jadi kata sifat. “Dia mah Baper orangnya.” Pasti kesal kalau sampai ada yang mengecap kita seperti itu, karena Baper biasanya diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Orang yang cepat marah, cepat ngambek, dan semacamnya. Padahal orang ngambek, orang marah belum tentu memang karena orangnya bertipe temperamen. Orang baik, orang sabar sekalipun bisa marah.

Yang namanya orang normal kan punya emosi. Ketika seseorang ngambek, marah, ya cari tahu dan minta maaf kalau memang kita salah. Jangan malah tambah diejek Baperan. Bahkan yang membuat gue nggak habis pikir dengan mereka adalah ketika mereka sampai berani melabeli seseorang yang ngambek dengan label Baperan, padahal baru sekali itu aja mereka menyaksikan seseorang tersebut marah. Ini serius. Pernah terjadi di tengah pergaulan gue.

Semua orang yang ngambek masa mau dibilang Baperan? Atau yang lebih parah masa semua orang yang menunjukkan emosi kesal, marah, ngambek masa dilabeli Baperan? Masa kita harus selalu menunjukkan emosi bahagia, flat? See, beberapa orang zaman sekarang, sejak ada kata Baper, selain jadi ogah meminta maaf, mereka juga malah dengan jahatnya melabeli orang lain Baperan. Ini berlebihan karena kebanyakan mereka yang memberi label adalah mereka yang sebenarnya membuat orang yang dilabeli marah, ngambek. Udah bikin orang kesel, malah mengecap orang dengan sebutan yang (kebanyakan orang mengartikannya) buruk.

Baper. Bawa Perasaan. Menurut cerita orang-orang yang gue dengar, Bawa Perasaan juga berarti take something personally,kegeeran, memasukkan masalah ke hati sampai bikin perasaan sakit dan pikiran sakit. Baper nggak cuma jadi kata sifat, tapi juga kata kerja.

Sering juga mendengar orang yang memang kelihatannya selalu santai, bilang, “Ah, gue mah santai orangnya, nggak Baperan.” Lo robot nggak pernah ngerasain kesal, atau marah, atau sedih? Nggak mungkin.

Emang kelihatannya santai, tapi emangnya lo nggak punya ekspresi kekesalan, kemarahan? Ada banyak cara mengekspresikan kekesalan. Ada yang marah dan ngambek di depan, tapi ada juga yang curhat-semi-ngegosipin orang, ada juga yang nulis puisi atau lagu.

Biasanya yang menunjukkan kemarahannya di depan justru yang sering dilabeli Baperan. Untuk menghindari itu, gue menemukan banyak orang yang lebih memilih diam ketika punya masalah biar nggak dibilang Baper, tapi malah lari curhat-semi-gibah dengan orang lain. Mereka berkata “Gue mah slow aja, nggak Baperan” tapi malah ngomongin orang dibelakang ketika ada masalah.

Jangan bilang lo nggak baperan kalau masih ngomongin orang dari belakang. Apa namanya kalau bukan bawa perasaan?

Diatas semuanya, gue nggak suka pemikiran mudah anak-anak zaman sekarang. Mentang-mentang kata Baper lagi ngetrend, semuanya jadi seenaknya melontarkan kata Baper, melabeli orang lain Baper. Oke-oke aja kok bawa perasaan, itu menunjukkan lo adalah orang yang perasa selama nggak over dan masih bisa diatur. Tapi Baper yang jadi pembelaan orang-orang yang menyakiti orang lain itu nggak benar apalagi kalau sampai karena nggak mau dicap Baper, orang-orang jadi nggak berani berekspresi, orang-orang jadi terpaksa menyudahi masalah yang malah berujung pada gibah. Kasihan banget, udah dibikin kesal, harus memendam kekesalan, eh malah buat dosa sendiri karena curhat-semi-ngegosipin orang.

Kalau memang bagusnya diselesaikan dengan damai langsung di depan, kenapa harus disimpan sampai menggunung dan berujung pada curhat-semi-gibah yang sebenarnya malah memperparah?

See you on my next post!

Comments

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku...

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etce...

Lagi Galau? Baca Nih!

GALAU ... sebuah kata yang tersusun dari hanya lima huruf ini ternyata ajaib. Semua orang dibuatnya kacau. Sebenarnya apa sih definisi galau? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: ga·lau   a,   ber·ga·lau   a   sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran); ke·ga·lau·an   n   sifat (keadaan hal) galau Menurut gue: Galau itu sesuatu yang negatif dan gak pantes untuk digauli. Oke, kalian sadar gak sih kalau sebenarnya tweets atau status kalian di facebook atau bahkan curhatan kegalauan kalian para blogger di blog kalian itu dapat memengaruhi pikiran dan perasaan orang lain juga. Loh kok bisa sih? Yang galau gue kenapa yang lain juga bisa ikutan galau? Bisa dong... ini semua karena tweets galau yang kalian pos twitter itu beraura negatif. Beraura negatif karena mengandung unsur-unsur yang buruk seperti kata-kata kotor yang kalian tulis untuk memaki orang lain dan kata-kata seperti; Bad mood, males, pusing, n...