Di postingan sebelumnya, gue juga
udah bahas tentang Baper. Bawa Perasaan. Tapi gue belum puas, karena fenomena
yang kedengarannya remeh-temeh ini sebenarnya berdampak besar untuk orang
banyak dan malah mempengaruhi emosi orang-orang. Mempengaruhi emosi
orang-orang, maksudnya? Iya, seperti di postingan sebelumnya, gue bahas orang-orang
yang terpaksa menyudahi percekcokan atau kekesalan karena dibilang Baper.
Orang-orang jadi memaksa dirinya untuk berhenti kesal, berhenti ngambek, tanpa
menerima kata maaf karena dibilang Baper.
Kata
Baper udah jadi kata sifat. “Dia mah
Baper orangnya.” Pasti kesal kalau sampai ada yang mengecap kita seperti
itu, karena Baper biasanya diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Orang yang
cepat marah, cepat ngambek, dan semacamnya. Padahal orang ngambek, orang marah
belum tentu memang karena orangnya bertipe temperamen. Orang baik, orang sabar
sekalipun bisa marah.
Yang
namanya orang normal kan punya emosi. Ketika seseorang ngambek, marah, ya cari
tahu dan minta maaf kalau memang kita salah. Jangan malah tambah diejek
Baperan. Bahkan yang membuat gue nggak habis pikir dengan mereka adalah ketika
mereka sampai berani melabeli seseorang yang ngambek dengan label Baperan,
padahal baru sekali itu aja mereka menyaksikan seseorang tersebut marah. Ini
serius. Pernah terjadi di tengah pergaulan gue.
Semua
orang yang ngambek masa mau dibilang Baperan? Atau yang lebih parah masa semua
orang yang menunjukkan emosi kesal, marah, ngambek masa dilabeli Baperan? Masa
kita harus selalu menunjukkan emosi bahagia, flat? See, beberapa orang zaman sekarang, sejak ada kata Baper, selain
jadi ogah meminta maaf, mereka juga malah dengan jahatnya melabeli orang lain
Baperan. Ini berlebihan karena kebanyakan mereka yang memberi label adalah
mereka yang sebenarnya membuat orang yang dilabeli marah, ngambek. Udah bikin
orang kesel, malah mengecap orang dengan sebutan yang (kebanyakan orang
mengartikannya) buruk.
Baper.
Bawa Perasaan. Menurut cerita orang-orang yang gue dengar, Bawa Perasaan juga
berarti take something personally,kegeeran,
memasukkan masalah ke hati sampai bikin perasaan sakit dan pikiran sakit. Baper
nggak cuma jadi kata sifat, tapi juga kata kerja.
Sering
juga mendengar orang yang memang kelihatannya selalu santai, bilang, “Ah, gue mah santai orangnya, nggak
Baperan.” Lo robot nggak pernah ngerasain kesal, atau marah, atau sedih?
Nggak mungkin.
Emang
kelihatannya santai, tapi emangnya lo nggak punya ekspresi kekesalan,
kemarahan? Ada banyak cara mengekspresikan kekesalan. Ada yang marah dan
ngambek di depan, tapi ada juga yang curhat-semi-ngegosipin orang, ada juga
yang nulis puisi atau lagu.
Biasanya
yang menunjukkan kemarahannya di depan justru yang sering dilabeli Baperan.
Untuk menghindari itu, gue menemukan banyak orang yang lebih memilih diam
ketika punya masalah biar nggak dibilang Baper, tapi malah lari
curhat-semi-gibah dengan orang lain. Mereka berkata “Gue mah slow aja, nggak Baperan” tapi malah ngomongin orang
dibelakang ketika ada masalah.
Jangan
bilang lo nggak baperan kalau masih ngomongin orang dari belakang. Apa namanya
kalau bukan bawa perasaan?
Diatas
semuanya, gue nggak suka pemikiran mudah
anak-anak zaman sekarang. Mentang-mentang kata Baper lagi ngetrend, semuanya
jadi seenaknya melontarkan kata Baper, melabeli orang lain Baper. Oke-oke aja
kok bawa perasaan, itu menunjukkan lo adalah orang yang perasa selama nggak over dan masih bisa diatur. Tapi Baper
yang jadi pembelaan orang-orang yang menyakiti orang lain itu nggak benar
apalagi kalau sampai karena nggak mau dicap Baper, orang-orang jadi nggak
berani berekspresi, orang-orang jadi terpaksa menyudahi masalah yang malah
berujung pada gibah. Kasihan banget, udah dibikin kesal, harus memendam
kekesalan, eh malah buat dosa sendiri karena curhat-semi-ngegosipin orang.
Kalau
memang bagusnya diselesaikan dengan damai langsung di depan, kenapa harus
disimpan sampai menggunung dan berujung pada curhat-semi-gibah yang sebenarnya
malah memperparah?
See
you on my next post!
Comments
Post a Comment