Pagi itu biru. Aku masih menopang tubuhku dengan lutut dan jari-jari kakiku di atas tanah. Mamaku masih berada di sampingku, bertahan dengan isak tangisnya. Di belakangku berdiri Laras dan Zahra. Laras---kekasih Angga, adikku yang sekarang sudah di sana---masih menutupi mulutnya dengan sapu tangan birunya, yang kemudian aku ketahui bahwa itu pemberian dari Angga. Beberapa remaja putih abu-abu masih berada di bawah pohon mahoni, memerhatikan kami yang masih berpanas-panasan sejak tadi. "Gar, sudah siang nih, ajak mamamu berteduh. Baju hitam kan menyerap panas." kata Ibu Dewi, guru Bahasa Indonesia sekaligus wali kelas adikku. Ibu Dewi masih ingat padaku ternyata, beliau pernah mengajariku ilmu-ilmu di tahun terakhirku. Di bangku kayu yang sewaktu-waktu bisa roboh itu Mama dan Ibu Dewi duduk. Mama masih meratap, sulit menerima realita. Aku berdiri di samping Laras sambil sesekali mengelus-elus punggungnya ketika nafasnya terengah-engah. Sulit untuk diter...